Hukum
dalam Lintasan Sejarah: Analisis Apresiasi dan Kritik Sastra terhadap Lima
Puisi dari Masa Pra-Penjajahan hingga Pasca-Orde Baru
Oleh:
Mutiara
Aprilia, Mannnawa Salwa, Grace Evelyn Hutabarat
Sastra
memiliki peran penting dalam merefleksikan kondisi sosial, politik, dan hukum
dalam suatu masyarakat. Puisi, sebagai salah satu bentuk sastra, sering kali
menjadi media kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam berbagai periode
sejarah. Dalam konteks hukum, puisi dapat menggambarkan bagaimana sistem hukum
diterapkan, bagaimana keadilan ditegakkan, serta bagaimana hukum bisa menjadi
alat penindasan atau perubahan sosial. Sejak masa pra-penjajahan hingga
pasca-Orde Baru, puisi telah merekam perjalanan hukum di Indonesia, baik sebagai
instrumen moral, alat kolonialisasi, sarana perlawanan, maupun sebagai kritik
terhadap sistem yang tidak adil.
Puisi
“Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji yang diciptakan pada masa
pra-penjajahan, misalnya, menyoroti betapa pentingnya hukum yang berlandasan
etika dan tanggung jawab para pemimpin dalam menegakkan keadilan. Sementara
itu, dalam masa kolonial, "Tanah Air" karya Muhammad Yamin
menjadi representasi ketidakadilan hukum kolonial terhadap pribumi dan
keberpihakan sistem hukum pada penguasa. Pada era Orde Lama, "Diponegoro"
karya Chairil Anwar mencerminkan semangat perlawanan terhadap hukum kolonial
yang menindas. Ketika memasuki Orde Baru, "Sajak Seonggok Jagung"
karya W.S. Rendra menyoroti ketimpangan sosial akibat hukum yang tidak berpihak
pada rakyat kecil. Sementara dalam era reformasi, "Negeri Para
Bedebah" karya Taufiq Ismail masih mengkritik korupsi dalam sistem
hukum yang tetap menguntungkan elite politik.
Melalui
kelima puisi ini, dapat dilihat bahwa hukum dalam lintasan sejarah Indonesia
mengalami berbagai perubahan, tetapi pada beberapa aspek, ketidakadilan tetap
bertahan dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu, kajian apresiasi dan
kritik sastra terhadap lima puisi ini menjadi penting untuk memahami bagaimana
hukum direpresentasikan dalam berbagai era dan bagaimana sastra berperan
sebagai refleksi sekaligus alat kritik sosial terhadap sistem hukum yang
berlaku.
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana hukum direpresentasikan dalam lima
puisi dari berbagai periode sejarah Indonesia. Kemudian mengkaji perubahan
perspektif terhadap hukum dalam sastra dari masa pra-penjajahan hingga
pasca-Orde Baru. Lalu memberikan apresiasi terhadap puisi sebagai bentuk kritik
sosial terhadap sistem hukum di Indonesia. Mengidentifikasi pola kritik hukum
yang muncul dalam sastra serta relevansinya dengan kondisi hukum di setiap era.
1. Masa Pra-Penjajahan Puisi Gurindam
Dua Belas – Raja Ali Haji (1847)
Gurindam
12
Raja
mufakat dengan menteri,
seperti
kebun berpagarkan duri.
Betul
hati kepada raja,
tanda
jadi sebarang kerja.
Hukum
adil atas rakyat,
tanda
raja beroleh inayat.
Kasihkan
orang yang berilmu,
tanda
rahmat atas dirimu.
Hormat
akan orang yang pandai,
tanda
mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan
dirinya mati,
itulah
asal berbuat bakti.
Akhirat
itu terlalu nyata,
kepada
hati yang tidak buta.
1)
Sejarah Singkat Gurindam Dua Belas Karya
Raja Ali Haji
Gurindam
Dua Belas merupakan
sebuah karya monumental yang ditulis oleh Raja Ali Haji pada tahun 1847 di
Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Karya ini terdiri dari dua belas pasal yang
setiap pasalnya mengandung nasihat tentang moral, etika, dan hukum. Raja Ali
Haji, yang lahir pada tahun 1808, dikenal sebagai seorang ulama, sejarawan, dan
sastrawan terkemuka di Kesultanan Riau-Lingga. Beliau juga merupakan cucu dari
Raja Haji Fisabilillah, seorang pahlawan nasional Indonesia. Gurindam Dua
Belas ditulis sebagai respons terhadap perubahan sosial dan budaya akibat
pengaruh Barat yang mulai meresap ke dalam masyarakat Melayu saat itu. Melalui
karyanya, Raja Ali Haji berusaha mengingatkan masyarakat akan pentingnya
nilai-nilai moral dan hukum yang berlandaskan ajaran Islam.
2)
Analisis Hukum dalam Lintasan Sejarah:
Analisis Apresiasi dan Kritik Sastra
Gurindam
Dua Belas
tidak hanya menawan dalam bentuk sastra, tetapi juga menyimpan wawasan mendalam
tentang konsep hukum dan keadilan dalam masyarakat Melayu sebelum masa
penjajahan. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hermandra (2022)
mengungkapkan bahwa karya ini sarat dengan nilai-nilai religius, moral, dan
elemen pendidikan. Pesan-pesan tersebut disampaikan dengan bahasa yang
sederhana, namun kaya akan makna, sehingga mudah dipahami oleh berbagai lapisan
masyarakat. Selain itu, analisis semantik terhadap pasal pertama “Gurindam Dua
Belas” menunjukkan bahwa Raja Ali Haji menggunakan sturuktur kalimat yang kaya
frasa nominal dan kata kerja, yang semakin memperkuat pesan moral yang ingin
disampaikannya.
Dalam
konteks hukum, Gurindam Dua Belas berperan sebagai pedoman etis bagi
pemimpin dan masyarakat. Raja Ali Haji menekankan bahwa hukum harus ditegakkan
dengan adil dan berdasarkan nilai-nilai agama. Hal ini sejalan dengan pandangan
bahwa implementasi hukum dalam masyarakat Melayu saat itu sangat dipengaruhi
oleh ajaran Islam dan adat istiadat setempat.
. Dalam
pasal-pasalnya, Raja Ali Haji menekankan pentingnya hubungan harmonis antara
raja dan menteri, serta keadilan dalam pemerintahan. Misalnya, pada salah satu
bait disebutkan:
Bait 1:
"Raja
mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri."
Bait ini
menekankan pentingnya kesepakatan antara pemimpin dan para penasihatnya
(menteri) dalam menjalankan pemerintahan. Jika raja dan menteri saling sepakat
dan bekerja sama, maka pemerintahan akan kuat dan terlindungi, seperti kebun yang
dikelilingi oleh duri untuk melindungi diri. Dalam konteks hukum, hal ini
mencerminkan prinsip musyawarah dan mufakat sebagai landasan dalam pengambilan
keputusan yang adil. Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam serta sistem
pemerintahan tradisional Melayu yang menekankan pentingnya kepemimpinan yang
bersandar pada kebijaksanaan kolektif.
Bait 2:
"Betul
hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja."
Bait ini
mengekspresikan kesetiaan rakyat terhadap pemimpin adalah kunci keberhasilan
pemerintahan. Jika rakyat memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya, maka setiap
kebijakan yang dijalankan akan terlaksana dengan baik. Dalam hukum modern, ini
bisa dikaitkan dengan prinsip legitimasi dalam pemerintahan, di mana hukum
hanya dapat ditegakkan jika masyarakat mematuhinya. Namun, kritiknya adalah
kesetiaan kepada pemimpin harus disertai dengan pengawasan dan keseimbangan
kekuasaan, agar tidak berujung pada pemerintahan yang otoriter.
Bait 3:
“Hukum
adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat”
Keadilan
hukum merupakan aspek fundamental yang harus dimiliki seorang pemimpin agar
dapat meraih keberkahan dan legitimasi dalam kepemimpinan. Dalam sejarah hukum
Melayu, hukum adat dan syariah Islam sering digunakan dalam pengambilan
keputusan. Prinsip keadilan ini sejalan dengan konsep negara hukum dalam
demokrasi modern, di mana pemimpin harus menjalankan hukum tanpa diskriminasi.
Kritiknya adalah keadilan dalam hukum harus bersifat universal dan tidak hanya
berlaku dalam sistem monarki, tetapi juga dalam sistem pemerintahan yang lebih
demokratis.
Bait 4:
“Kasihkan
orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu”
Bait ini
menekankan pentingnya menghargai dan mengutamakan orang berilmu dalam
masyarakat. Dalam sejarah hukum Islam dan tradisi Melayu, ilmu pengetahuan
sering menjadi dasar dalam perumusan kebijakan. Dalam konteks hukum modern, ini
berkaitan dengan penghormatan terhadap ahli hukum, akademisi, dan ilmuwan dalam
penyusunan undang-undang yang berbasis keilmuan. Namun, dalam praktiknya, masih
sering terjadi marginalisasi terhadap pemikir dan akademisi dalam pengambilan
keputusan politik dan hukum.
Bait 5:
“Hormat
akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai”
Bait ini
mengajarkan bahwa menghormati orang cerdas menunjukkan kebijaksanaan seseorang.
Dalam sejarah hukum, pemimpin yang bijak akan mendengarkan para penasihat dan
ahli hukum sebelum mengambil keputusan. Konsep ini mirip dengan prinsip check
and balance dalam sistem pemerintahan modern. Kritiknya adalah penghormatan
kepada orang pandai tidak boleh hanya bersifat simbolis, tetapi harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang memberikan ruang bagi kaum intelektual
untuk berkontribusi dalam pembangunan hukum dan pemerintahan.
Bait 6:
“Ingatkan
dirinya mati, itulah asal berbuat bakti”
Kesadaran
akan kematian dihubungkan dengan perilaku baik dan pengabdian. Dalam konteks
hukum, ini dapat diinterpretasikan sebagai pengingat bagi pemimpin dan rakyat
bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun di
akhirat. Prinsip ini erat kaitannya dengan konsep akuntabilitas dalam hukum
modern, di mana setiap pejabat negara harus mempertanggungjawabkan kebijakan
dan keputusan mereka. Namun, kritiknya adalah kesadaran akan kematian tidak
cukup untuk menegakkan keadilan; harus ada sistem hukum yang kuat untuk
memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara nyata.
Bait 7:
“Akhirat
itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta”
Bait ini
menegaskan keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati adalah kenyataan yang
tidak bisa dihindari, dan hanya orang yang memiliki hati yang bersih yang dapat
memahami hal ini. Dalam hukum Islam dan adat Melayu, konsep ini berkaitan
dengan kepercayaan bahwa pemimpin dan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatan mereka. Dalam hukum modern, ini mencerminkan pentingnya etika
dan moralitas dalam sistem peradilan. Kritiknya adalah meskipun kesadaran moral
sangat penting, sistem hukum yang kuat tetap diperlukan untuk memastikan bahwa
prinsip keadilan benar-benar dijalankan di dunia ini.
“Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali
Haji adalah karya sastra yang kaya akan nilai hukum dan moral. Setiap baitnya
mencerminkan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan konteks sejarah Melayu
dan tetap relevan dalam sistem hukum modern. Prinsip seperti musyawarah,
keadilan, penghormatan terhadap ilmu, serta akuntabilitas dalam kepemimpinan
merupakan nilai-nilai yang masih diterapkan dalam sistem hukum saat ini. Namun,
kritik terhadap teks ini adalah bahwa ia masih berpusat pada sistem monarki dan
tidak menyinggung secara eksplisit konsep demokrasi atau hak asasi manusia.
Oleh karena itu, meskipun nilai-nilai Gurindam Dua Belas tetap memiliki
relevansi yang tinggi dan penerapannya dalam sistem hukum modern sangatlah
penting harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
2. Masa Kolonial Puisi “Tanah Air”
Karya Muhammad Yamin (1922)
Di
atas batasan Bukit Barisan
Memandang
beta ke bawah memandang:
Tampaklah
hutan rimba dan ngarai
Lagipun
sawah, telaga nan permai:
Serta
gerangan lihatlah pula
Langit
yang hijau bertukar warna
Oleh
pucuk daun Kelapa:
Itulah
tanah, tanah airku
Sumatera
namanya ntumpah daraku.
Indah
‘alam warna pualam
Tempat
moyangku nyawa tertumpang;
Walau
berabad sudah lampau
Menutupi
Andalas di Waktu nan silau
Masih
kubaca di segenap mejan
Segala
kebaktian seluruh zaman, serta perbuatan yang mulia- hartawan
Nan
ditanam segala milikku
Dikorong
kampung hak milikku.
Sesudah
melihat pandang dan tilik
Timur
dan Barat, hilir dan mudik,
Teringatlah
pulau tenpat terdidik
Dilumuri
darah bertitik-titik
Semasa
pulai berpangkat naik:
O,
Bangsaku, selagi tenaga
Nan
dipintanya berkenan juga
Gunung
dan bukit bukan sedikit
Melengkung
ditaman bergelung-gelung
Memagari
daratan beberapa lembah;
Di
sanalah penduduk tegak dan rebah
Sejak
beliyungvdapat merambah
Sampai
ke zaman sudah berubah:
Sabas
Andalas, bunga bergubah
Mari
kujunjung, mari kusembah
Hatiku
sedikit haram berubah!
Anak
perca kalbunya cuaca
Apabila
terkenang waktu nan hilang!
Karena
kami anak Andalas
Sejak
dahulu sampai keatas
Akanbseia
sehidup semati
Sekata
sekumpul seikat sehati
Senyawa
sebadan sungguh sejati
Baik
di badan, bersuka raya
Ataupun
diserang, bala bahaya
Hilang
bangsa bergantikan bangsa
Luput
masa timbullah masa...
Demikianlah
pulauku mengikutkan sejarah
Sajak
dunia mula tersimbah
Sampai
ke zaman bagus dan indah
Atau
tenggelam bersama ke lembah
Menyerikan
cahaya penuh dan limpah.
Tetapi
Andalas di zaman nan tiba
Ibu
bergantung ke tuan dan hambaItu bergantung ke tuan dan hamba.
Awal berawal semula asal
Kami
serikat berpagarkan ‘adat,
Tapi
pulauku yang mulia raya
Serta
Subur, tanahnya kaya
Mari
kupagar serta kubilai
Dengan
kemegahan sorak semarai
Lagi
ketinggian berbagai nilai,
Karena
di sanalah darahku tertumpah
Serta
kupinta berkangkan tanah.
Yakin
pendapat akan sepakat
‘Akibat
Barisan manik seikat;
Baaikpun
hampir jauh dan dekat,
Lamun
pulauku mari kuangkat
Dengan
tenaga kata mufakat
Karena,
bangsaku asal’ lai serikat
Mana
yang jauh rasakan dekat
Waktu
yang panjang rasakan singkat,
Dan
Kemegahan tinggi tentu ditingkat.
O,
tanah, wahai pulauku
Tempat
bahasa mengikat bangsa,
Kuingat
dihati siang dan malam
Sampai
semangat ku suram dan silam;
Jikalau
Sumatera tanah mulia
Meminta
kurban bagi bersama
Terbukalah
hatiku badanku reda
Memberikan
kurban segala tenaga,
Berbarang
dua kuunjukkan tiga
Elok
pemandang kesana barisan
Ke
pihak Timu pantai nan kabur,
Sela
versela tamasa nan ramai
Diselangi
subgai yang amat permai:
Dengan
lambatnya seperti tak’kan sampai
Menhalirkan
ia hendak mencapai
Jauh
di sna teluk yang lampai;
Di
mana dataran sudah dibilai
Tinggallah
emas tiasda ternilai.
Puisi
“Tanah Air” oleh Muhammad Yamin adalah salah satu karya sastra yang merupakan
cinta yang mendalam dalam arti yang lebih luas dari kampung halamannya, Sumatra
dan Indonesia. Dengan citra alam yang menarik dan simbolisme yang mendalam,
Yamin mengungkapkan rasa bangga dan cintanya pada kota asalnya.
1)
Analisis Bait yang
Berhubungan dengan Hukum dan Relevansi Masa Kini
Meskipun
puisi ini lebih banyak menyoroti keindahan alam dan semangat persatuan,
terdapat beberapa bait yang dapat dikaitkan dengan aspek hukum dan relevansinya
dalam konteks modern:
Bait
Pertama:
“Diatas
batasan Bukit Barisan
Memandang
beta kebawah memandang:
Tamoaklah
hutan rimba dan ngaraipp
Lagipun
sawah, telaga nan oermai:
Serta
gerangan lihatlah pula
Langut
yang hijau bertukar warna
Oleh
pucuk daun kelap;
Itulah
tanah, tanah airku
Sumatera
namanya tumpah daraku”
Dalam bait ini, Yamin menggambarkan kekayaan
alami Sumatra. Penjelasan ini mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan
hukum terhadap lingkungan. Dalam konteks modern, ini berkaitan dengan
konservasi alam dan sumber daya melalui perlindungan lingkungan dan hukum
manajemen.
Bait
Ketiga
“Rindu digunung duduk bermenung
Terkenangkan masa yang sudah lindang;
Sesudah melihat pandangan dan tilik
Timur dan Barat, hilir dan mudik:
Teringatlah pulau tempat terdidik
Dilumuri darah bertitik-titik,
Semasa pulai berpangkat naik;
O, Bangsaku, selagi tenaga
Nan dipintanya berkenan juga”
Yamin merenungkan masa lalu dan perjuangan
yang telah dilalui. Frasa "Dilumuri darah bertitik-titik"
mengindikasikan pengorbanan dalam mencapai kemerdekaan. Ini berkaitan dengan
hukum yang mengatur penghormatan terhadap pahlawan dan veteran, serta
pentingnya pendidikan sejarah dalam kurikulum nasional untuk menghargai jasa
mereka.
Bait
Keenam:
“Anak perca kalbunya cuaca
Apabila terkenang waktu nan hilang,
Karena kami anak Andalas
Sejak dahulu sampai ke atas
Akan seia sehidup semati
Sekata sekumpul seikat sehati
Senyawa sebadan sungguh sejati
Baik didalam bersuka raya
Ataupun diserang bala bahaya”
Bait ini menekankan persatuan dan kesatuan.
Nilai-nilai ini tercermin dalam dasar negara, Pancasila, khususnya sila ketiga:
"Persatuan Indonesia." Dalam konteks hukum, ini relevan dengan
undang-undang yang mengatur tentang keutuhan dan kedaulatan negara, serta
penanganan terhadap ancaman disintegrasi bangsa.
Menurut
Susilowati dan Qur'ani (2021), puisi "Tanah Air" mengandung
struktur fisik dan batin yang kaya, mencerminkan tema cinta tanah air dan
semangat persatuan. Analisis mereka menunjukkan bahwa Yamin berhasil
menggabungkan deskripsi alam dengan nilai-nilai nasionalisme, yang tetap
relevan hingga saat ini.
Selain
itu, penelitian oleh Tröhler (2020) menekankan pentingnya literasi nasional
dalam membentuk kesadaran berbangsa. Puisi seperti "Tanah Air"
berperan dalam membangun identitas nasional dan kesadaran hukum di kalangan
masyarakat.
3. Masa Orde Lama Puisi Diponegoro Karya
Chairil Anwar (1943)
Dilonegoro
Dimasa
pembangunan ini
Tuan
hidup kembali
Dan
bara kagum menjadi api
Didepan
sekali tuan menanti
Tak
ganta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang
dikanan, keris dikiti
Berselempang
semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini
barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan
tanda menyerbu
Sekali
berarti
Sudah
itu mati
MAJU
Bagimu
Negeri
Bagimu
Negeri
Menyediahkan
api
Punah
diatas menghamba
Inasa
diatas ditindas
Sungguhpun
dalam ajal baru tercapai
Jika
hidup harus merasai
Maju
Serbu.
Serang.
Terjang.
Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar merupakan
salah satu puisi yang menggambarkan semangat perjuangan Pangeran Diponegoro
dalam melawan penjajahan Belanda. Melalui diksi yang tegas dan penuh semangat,
puisi ini tidak hanya merepresentasikan perlawanan fisik tetapi juga simbol
perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Dalam konteks hukum dan
sejarah, puisi ini dapat dikaitkan dengan berbagai aspek seperti hukum
kolonial, hukum perang, hak asasi manusia, dan semangat nasionalisme yang masih
relevan dalam kehidupan bernegara saat ini.
Bait
Pertama
“Dimasa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api”
Dalam bait ini, Chairil Anwar menunjukkan bahwa
semangat Pangeran Diponegoro terus hidup di zaman perkembangan.
Ini bisa
terkait dengan hukum negara yang mengkonfirmasi rasa hormat terhadap pahlawan
bangsa. Legal Nomor 20 Pada tahun 2009 dalam hal judul, tanda -tanda layanan
dan tanda -tanda kehormatan adalah dasar hukum untuk pengakuan resmi terhadap
angka yang menentukan dalam perjuangan negara itu. Selain itu, penghormatan
terhadap pahlawan juga merupakan bagian dari pendidikan karakter dan
nasionalisme dalam masyarakat pendidikan Indonesia.
Bait
Kedua
“Di
depan sekali tuan menanti
Tak
genta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang
di kanan, keris dikiri, berselempang semangat yang tak bisa mati.”
Bait ini menggambarkan keberanian Diponegoro yang
menghadapi musuh meskipun dalam keadaan sulit. Dalam konteks hukum, ini dapat
dikaitkan dengan hak untuk membela diri dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Perjuangan Diponegoro tidak hanya melawan penjajahan fisik tetapi juga
menentang sistem hukum kolonial yang menindas rakyat. Dalam hukum modern, hak
atas perlawanan terhadap ketidakadilan dapat ditemukan dalam prinsip rule of
law, yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia dan
penolakan terhadap hukum yang diskriminatif.
Bait
Ketiga
“Ini
barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan
tanda menyerbu
Sekali
berarti
Sudah
itu mati.”
Bait
ini mencerminkan perjuangan yang tidak memerlukan pengakuan formal (Shotted),
tetapi didorong oleh keyakinan yang kuat. Dalam konteks hukum, ini mungkin
terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan ekspresi. Ini adalah Pasal 28
Konstitusi 19
5
dan nomor hukum 9 tahun 1998, yang dapat diakses sehubungan dengan kemerdekaan
dari ekspresi publik. Semangat perjuangan yang tidak tunduk pada penguasa
mencerminkan hak -hak orang dalam sistem demokrasi untuk menentang penipuan
melalui saluran yang sah, termasuk perlawanan hukum di pengadilan.
Bait
Keempat
“Bait
Keempat
Bagimu
negeri
Menyediakan
api
Punah
diatas menghamba
Inasa
diatas ditinda”
Dalam bait ini, kata API melambangkan semangat
perjuangan. Api di sini dapat diartikan sebagai persepsi hukum yang memicu
antusiasme mereka yang menolak untuk menekannya. Dalam konteks hukum modern,
ini mencerminkan prinsip -prinsip keadilan sosial, seperti prinsip kelima
Pankasila dan Pasal 27 Konstitusi 19 5, dan menjamin kesetaraan (kesetaraan di
hadapan hukum) di hadapan hukum. Selain itu, konsep non-integrasi dengan
penindasan mengikuti prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia internasional yang
mengkonfirmasi bahwa setiap individu memiliki hak untuk menolak pedoman atau
sistem yang melanggar hak-hak dasar.
Bait
Kelima
“Jika
hidup harus mersai
Maju
Serbu
Serang”
Bait terakhir ini menunjukkan semangat yang tak kenal
menyerah. Ini berkaitan dengan prinsip due process of law, di mana
perjuangan menuntut keadilan harus terus dilakukan melalui jalur hukum yang
sah. Dalam konteks hukum modern, hal ini relevan dengan berbagai kasus hukum
yang melibatkan perjuangan rakyat dalam menegakkan hak mereka, seperti kasus
agraria, hak buruh, dan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil
melalui mekanisme hukum seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Prasetyo (2019), puisi Diponegoro
mencerminkan semangat perjuangan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga
ideologis. Ia menegaskan bahwa semangat ini masih relevan dalam perjuangan
hukum di era modern, terutama dalam konteks demokrasi dan penegakan hak asasi
manusia. Penelitian oleh Supriyadi dan Hidayat (2021) menunjukkan bahwa puisi
ini memiliki keterkaitan dengan semangat kebebasan berekspresi dan perlindungan
hukum terhadap individu yang menolak ketidakadilan. Mereka menyoroti bahwa
dalam sistem hukum demokratis, perlawanan terhadap ketidakadilan tidak selalu
dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui jalur hukum dan advokasi.
Puisi Diponegoro tidak hanya sekadar puisi
perjuangan tetapi juga memiliki relevansi hukum dalam konteks modern. Puisi ini
menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan yang dapat dikaitkan dengan
prinsip rule of law, hak asasi manusia, perlindungan hukum terhadap
pahlawan, dan hak atas kebebasan berekspresi. Dalam konteks hukum Indonesia,
puisi ini mengingatkan kita pada pentingnya melawan ketidakadilan melalui jalur
hukum yang sah serta terus memperjuangkan hak-hak rakyat.
4. Masa Orde Baru Puisi Sajak Seonggok
Jagung Karya W.S. Rendra (1973)
Puisi
Perjuangan W.S. Rendra
Aku
tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa
yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila
kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku
tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku
tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa
ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari
menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang
teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku
tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Puisi
Aku Tulis Pamflet Ini karya W.S. Rendra menggambarkan kritik sosial
terhadap kondisi politik dan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat. Puisi
ini menyoroti ketidakpastian hukum, penyalahgunaan kekuasaan, serta bagaimana
kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dibatasi oleh otoritas yang
berkuasa. Dalam konteks hukum modern, puisi ini masih relevan, terutama dalam
diskusi tentang kebebasan pers, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.
Bait
Pertama
"Aku
tulis pamflet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang
bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng-iya-an"
Bait
ini menggambarkan kondisi di mana lembaga yang seharusnya menjadi tempat
penyampaian pendapat umum justru mengalami pembungkaman. Dalam konteks hukum,
hal ini dapat dikaitkan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana diatur
dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, dalam
praktiknya, masih banyak regulasi yang menekan kebebasan berbicara, seperti
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sering
digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau pihak berwenang.
Menurut penelitian Yanuar (2019), penerapan UU ITE sering kali digunakan untuk
mengkriminalisasi individu yang mengungkapkan pendapatnya secara kritis, menunjukkan
bahwa kritik yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi justru dibatasi oleh
hukum yang represif.
Bait
Kedua
"Apa
yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya menjadi isi
kebon binatang"
Bait
ini mengkritik ketidakpastian hukum dan kondisi sosial yang penuh dengan
ancaman serta kekacauan. Dalam konteks hukum, hal ini dapat dikaitkan dengan
prinsip rule of law, di mana hukum seharusnya memberikan kepastian dan
melindungi hak-hak individu. Namun, dalam banyak kasus, hukum justru menjadi
alat kekuasaan yang berubah-ubah sesuai kepentingan pihak tertentu. Hal ini
selaras dengan pendapat Arifin (2020), yang menyatakan bahwa ketidakpastian
hukum dalam sistem peradilan Indonesia sering kali dipengaruhi oleh faktor
politik dan ekonomi, menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap
sistem hukum.
Bait
Ketiga
"Apabila
kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa
garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung
perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan."
Bait
ini menyoroti bagaimana kritik yang hanya diperbolehkan melalui jalur resmi
akan kehilangan maknanya karena dikendalikan oleh pihak berkuasa. Dalam konteks
hukum, hal ini berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pasal
19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi melalui media apa pun. Namun, dalam
praktiknya, kebijakan sensor dan regulasi yang ketat terhadap media sering kali
membuat kritik tidak memiliki dampak yang berarti. Menurut penelitian Suryadi
(2022), monopoli informasi oleh pemerintah atau korporasi besar dapat
menghambat demokrasi dan menyebabkan penyebaran informasi yang tidak berimbang.
Bait
Keempat
"Aku
ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan
tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah
mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang
merdeka."
Bait
ini menyoroti pentingnya kebebasan berbicara dalam kehidupan sosial dan
demokrasi. Dalam konteks hukum, hal ini berkaitan dengan prinsip deliberasi
publik, di mana masyarakat seharusnya memiliki ruang untuk berdiskusi tanpa
rasa takut. Namun, ketakutan terhadap represi hukum sering kali menghambat
perdebatan terbuka. Penelitian oleh Lestari (2021) menunjukkan bahwa dalam
sistem demokrasi yang sehat, kebebasan berbicara harus dijamin tanpa ancaman
kriminalisasi, karena perbedaan pendapat merupakan bagian dari kehidupan
berdemokrasi yang sehat.
Bait
Kelima
"Matahari
menyinari air mata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada
dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah Kegamangan. Kecurigaan. Ketakutan. Kelesuan."
Bait
ini menggambarkan bagaimana ketakutan dan represi mengakibatkan masyarakat
menjadi tidak berdaya dan kehilangan semangat. Dalam konteks hukum, ini dapat
dikaitkan dengan efek chilling (chilling effect), yaitu dampak negatif
dari regulasi yang represif terhadap kebebasan berbicara, di mana individu
memilih diam karena takut dikriminalisasi. Menurut Wahyudi (2018), efek
chilling yang disebabkan oleh regulasi yang ketat terhadap kebebasan
berpendapat menyebabkan masyarakat lebih memilih diam daripada mengambil risiko
menghadapi konsekuensi hukum.
Bait
Keenam
"Aku
tulis pamflet ini karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada
cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit
kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca : ternyata
kita, toh, manusia!"
Bait
terakhir ini memberikan harapan bahwa meskipun ada represi dan ketidakadilan,
masih ada kemungkinan perubahan. Dalam konteks hukum, ini mencerminkan
pentingnya reformasi hukum untuk menjamin kebebasan dan keadilan bagi semua.
Reformasi hukum yang memastikan bahwa hukum tidak hanya berpihak pada penguasa
tetapi juga pada rakyat merupakan langkah penting dalam membangun negara yang
demokratis.
Menurut
Yanuar (2019), puisi W.S. Rendra mencerminkan kondisi represif yang masih
relevan dengan situasi hukum di Indonesia saat ini, di mana kebebasan
berekspresi masih sering dikekang. Arifin (2020) menambahkan bahwa
ketidakpastian hukum dan monopoli kekuasaan dalam informasi dapat menghambat
perkembangan demokrasi. Suryadi (2022) menekankan bahwa perlu ada reformasi
dalam kebijakan informasi agar masyarakat memiliki akses terhadap berita yang
jujur dan tidak termanipulasi.
Puisi
Aku Tulis Pamflet Ini mengandung kritik tajam terhadap represi hukum dan
pembatasan kebebasan berekspresi yang masih relevan hingga saat ini. Puisi ini
mencerminkan pentingnya kebebasan berbicara, kepastian hukum, dan perlawanan
terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dengan berbagai peraturan yang masih
membatasi kritik, puisi ini menjadi pengingat bahwa demokrasi yang sehat harus
menjamin ruang untuk perdebatan terbuka dan kebebasan berpikir.
5. Masa Reformasi – Pasca-Orde Baru Puisi Negeri
Para Bedebah Karya Adhie Massardi (2018)
Negeri
Para Bedebah
Ada
satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya
pernah dibelah tongkat Musa
Nuh
meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari
langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala
Tahukah
kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah
negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi
rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau
jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di
negeri para bedebah
Orang
baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan
hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu
rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena
hanya penguasa yang boleh marah
Sedang
rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka
bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan
tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena
Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali
kaum itu sendiri mengubahnya
Maka
bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah
mereka dengan revolusi
Bila
tak mampu dengan revolusi,
Dengan
demonstrasi
Bila
tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi
itulah selemah-lemahnya iman perjuangan
Puisi Negeri Para Bedebah mengandung kritik sosial yang relevan
dengan situasi hukum dan politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Setiap
baitnya menggambarkan ketimpangan hukum, ketidakadilan sosial, serta
ketimpangan ekonomi yang berakar pada sistem pemerintahan yang korup dan
otoriter.
Bait pertama mengandung referensi historis dan keagamaan yang kuat.
Penyebutan tongkat Musa yang membelah laut, peristiwa bah yang memaksa Nuh
meninggalkan daratan, serta burung-burung kondor yang menjatuhkan bebatuan
menyala-nyala (kemungkinan merujuk pada kisah kaum Nabi Luth atau Ababil)
memberikan gambaran simbolik tentang negeri yang penuh dengan kezaliman. Secara
hukum, bait ini menggambarkan bahwa dalam sejarah, negeri yang penuh
ketidakadilan selalu mengalami kehancuran akibat ketidakpatuhan terhadap norma
dan hukum yang benar.
Bait kedua mengkritik pemimpin yang hidup mewah sementara rakyatnya
menderita. Ini berhubungan erat dengan teori hukum sosial yang dikemukakan oleh
John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), yang menyatakan bahwa
keadilan sosial harus didasarkan pada distribusi yang adil atas kekayaan dan
kesempatan. Dalam konteks hukum modern, hal ini dapat dikaitkan dengan prinsip good
governance yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Hadad (2018) dalam
penelitiannya, di banyak negara berkembang, pelaksanaan hukum yang berpihak
pada rakyat masih sering dikalahkan oleh kepentingan oligarki.
Bait ketiga menyoroti kriminalisasi terhadap orang baik dan bersih.
Dalam perspektif hukum, ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) yang banyak terjadi di negara dengan supremasi hukum yang lemah. Teori
hukum kritis yang dikemukakan oleh Duncan Kennedy (1978) menyebutkan bahwa
hukum sering kali menjadi alat untuk mempertahankan kepentingan kelompok
tertentu, bukan sebagai sarana keadilan yang netral. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Aji dan Syarif (2020) yang menemukan bahwa banyak aktivis dan
jurnalis yang mengkritik kebijakan pemerintah justru dipidanakan dengan tuduhan
yang lemah secara hukum.
Bait keempat membahas penipuan pemilu dan ketidakadilan dalam sistem
politik. Dalam ilmu hukum tata negara, hal ini dapat dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD
1945 tentang pemilu yang jujur dan adil. Seperti yang dikemukakan oleh Mahfud
MD (2019), pemilu yang tidak adil akan menciptakan pemerintahan yang tidak sah
secara moral dan hukum, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap negara.
Bait kelima menegaskan peran rakyat dalam mengubah keadaan dengan
revolusi, demonstrasi, atau diskusi. Ini mencerminkan konsep perubahan hukum
dalam perspektif sosiologi hukum yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich (1936),
yang menyatakan bahwa hukum sejatinya harus mencerminkan kehendak masyarakat.
Sejalan dengan itu, penelitian oleh Wijaya dan Santoso (2019) menunjukkan bahwa
perubahan kebijakan hukum sering kali tidak terjadi karena inisiatif
pemerintah, melainkan karena tekanan dari masyarakat sipil.
Secara keseluruhan, puisi ini memiliki relevansi yang kuat dengan
situasi hukum dan politik kontemporer. Kritik yang disampaikan melalui
simbolisme dan metafora memperlihatkan bagaimana hukum sering kali berpihak
kepada penguasa daripada rakyat, suatu realitas yang telah dikaji dalam banyak
penelitian hukum modern.
Daftar
Pustaka
Arifin, M. (2020). Ketidakpastian Hukum dalam
Demokrasi: Analisis Sosio-Hukum. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 8(1),
45-59.
Ehrlich, E. (1936). Fundamental Principles of the Sociology of Law.
Harvard University Press.
Hadad, R. (2018). Good Governance dan Tantangan Implementasi dalam
Negara Berkembang. Jurnal Ilmu Sosial, 12(1), 101-120.
Hermandra.
(2022). Analisis Semantik Gurindam Dua Belas Pasal I Karya Raja Ali Haji. Jurnal
Innovative, 4(2). https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/10004
Kennedy, D. (1978). Legal Education and the Reproduction of
Hierarchy. Harvard Law Review, 32(4), 345-367.
Lestari, R. (2021). Kebebasan Berpendapat dan
Demokrasi: Tantangan Regulasi di Era Digital. Jurnal Komunikasi Publik,
10(2), 102-118.
Mahfud MD. (2019). Demokrasi, Hukum, dan Kekuasaan. Jakarta:
Gramedia.
Prasetyo,
T. (2019). Semangat Perjuangan dalam Puisi Chairil Anwar dan Relevansinya
terhadap Demokrasi Indonesia. Jurnal Sastra dan Budaya, 7(2), 112-124.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
Supriyadi,
R., & Hidayat, A. (2021). Kebebasan Ekspresi dan Perlawanan terhadap
Ketidakadilan dalam Sastra Indonesia. Jurnal Kajian Hukum dan HAM, 5(1),
78-92.
Suryadi, T. (2022). Monopoli Informasi dan Dampaknya
terhadap Demokrasi. Jurnal Politik dan Hukum, 12(1), 78-94.
Susilowati, D., & Qur'ani, H. B. (2021). Analisis
Puisi "Tanah Air" Karya Muhammad Yamin dengan Pendekatan Struktural.
Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 5(1),
38-48.
Tirto.id.
(2022). Isi Gurindam Dua Belas Karya Raja Ali Haji dan Artinya Lengkap. https://tirto.id/isi-gurindam-dua-belas-karya-raja-ali-haji-dan-artinya-lengkap-gyhR
Tröhler, D. (2020). National Literacies, or Modern
Education and The Art of Fabricati ng National Minds. Journal of Curriculum
Studies, 52(5), 620-635.
Wahyudi, B. (2018). Chilling Effect dan Kebebasan
Berekspresi dalam Perspektif Hukum. Jurnal Hak Asasi Manusia, 6(2), 120-133.
Wijaya, B., & Santoso, P. (2019). Dinamika Perubahan Hukum di
Indonesia: Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik,
6(3), 231-256.
Yanuar, D.
(2019). Sastra dan Kritik Sosial: Analisis Puisi W.S. Rendra. Jurnal Sastra
dan Hukum, 7(3), 89-105. Aji, R.,
& Syarif, A. (2020). Kritik Sosial dan Kebebasan Berpendapat dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 8(2), 55-78.