Humor sebagai Perlawanan: Perspektif Masyarakat terhadap Kepemimpinan Soeharto dalam Buku Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto
Gabriel, Irfansyah, M. Ridho
Humor sering kali dianggap sebagai sekadar hiburan, akan tetapi dalam konteks tertentu, ia dapat menjadi alat perlawanan yang ampuh. Buku Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto (1998) merupakan contoh bagaimana humor digunakan sebagai kritik politik terhadap pemerintahan Soeharto di era Orde Baru. Melalui satire yang tajam dan anekdot jenaka, buku yang berisi kumpulan cerpen ini menyoroti otoritarianisme, nepotisme, korupsi, serta represi terhadap kebebasan berpendapat yang terjadi selama kepemimpinan Soeharto.
Pada essai ini, akan dibahas bagaimana humor dalam buku ini berfungsi sebagai perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan, bagaimana teknik humor digunakan sebagai alat kritik sosial, serta sejauh mana relevansinya dalam konteks politik modern. Selain itu, akan diberikan apresiasi terhadap keberanian buku ini dalam menyuarakan kritik, sekaligus mengkritisi efektivitasnya dalam menyampaikan pesan politik kepada pembaca yang lebih luas.
Humor sebagai Bentuk Perlawanan Politik
Menurut Billig (2005), humor memiliki peran penting dalam membangun resistensi terhadap kekuasaan, terutama di dalam masyarakat yang mengalami represi politik. Dalam konteks Orde Baru, humor menjadi sarana yang aman bagi masyarakat untuk mengungkapkan kritik terhadap pemerintah. Cerpen dalam Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto bukan hanya sekadar lelucon, tetapi juga cerminan keresahan masyarakat terhadap kekuasaan yang otoriter. Di era Orde Baru, ketika kritik terhadap pemerintah dibungkam, humor menjadi ruang aman bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Buku ini mengungkap bagaimana masyarakat menggunakan satire untuk mengomentari berbagai aspek kepemimpinan Soeharto, mulai dari cara ia mempertahankan kekuasaan hingga keterlibatan keluarganya dalam ekonomi nasional. Misalnya, dalam satu cerpen berjudul “pengalaman Soeharto” menggambarkan bagaimana Soeharto bersikeras mempertahankan kekuasaan dengan mengatakan, "Aku harus jadi presiden, sampai mati!, karena itu saja yang saya pengalaman.". Ungkapan ini secara tidak langsung mengkritik keengganan Soeharto untuk mundur, meskipun kekuasaannya telah berlangsung lebih dari tiga dekade. Selain itu, dalam konteks krisis ekonomi yang melanda Indonesia, buku ini menyindir bagaimana pejabat pemerintah tampaknya lebih banyak berkomentar daripada bertindak: "Di tengah krisis ekonomi yang membuat ribuan rakyat kecil bertambah penderitaannya, sejumlah pejabat Indonesia menyatakan bahwa rakyat Indonesia adalah orang yang paling terbiasa dengan penderitaan. Barangkali pernyataan ini benar adanya tapi juga barangkali pernyataan ini adalah sebuah humor baru yang lebih mirip sebuah parodi.".
Kebebasan berbicara di era Soeharto hanyalah ilusi, karena pemerintah menerapkan berbagai bentuk sensor dan represi terhadap oposisi (Aspinall, 2005). Kritik terhadap represi kebebasan berpendapat juga muncul dalam cerpen “kebebasan setelah berbicara” yang menampilkan pernyataan Menlu Ali Alatas, yang mengatakan kepada seorang wartawan asing, "Di sini Anda bisa menemukan kebebasan untuk berbicara seperti yang biasa Anda temukan di negeri Anda. Anda bebas untuk berbicara apa saja!" Namun, wartawan tersebut dengan sinis bertanya, "Tapi apakah saya bisa menemukan kebebasan setelah berbicara?". Humor ini dengan jelas menggambarkan bahwa di bawah rezim Soeharto, kebebasan berpendapat hanyalah ilusi. Selain itu, buku ini juga menyoroti korupsi yang meluas di lingkaran kekuasaan Soeharto. Melalui permainan kata dan akronim yang terdapat pada “ kamis humor” kritik terhadap sistem yang penuh kolusi ini menjadi lebih tajam. Contohnya, Golkar = Golongan Koruptor dan Rakus, IMF = Indonesia Makin Fatal, serta Habibie = Habis Bikin Bingung. Plesetan ini mencerminkan bagaimana masyarakat memandang Golkar sebagai partai politik yang lebih melayani kepentingan elite dibandingkan rakyat.
Masyarakat juga melihat Soeharto sebagai pemimpin yang membangun dinasti politik dengan memberikan keuntungan besar kepada keluarganya. Salah satu kisah dalam buku ini berjudul “Kiat Tommy menurunkan harga semen” menyindir bagaimana Tommy Soeharto mendapatkan keuntungan dari sistem ekonomi yang korup, seperti dalam lelucon tentang bagaimana ia dapat menurunkan harga semen hanya dengan membentuk Badan Penyangga Perdagangan Semen, mengacu pada bagaimana BPPC yang ia pimpin justru menyebabkan jatuhnya harga cengkeh. Sindiran ini menyoroti bagaimana kebijakan ekonomi sering kali dibuat untuk menguntungkan keluarga Soeharto, bukan untuk kepentingan rakyat. Selain korupsi dan nepotisme, buku ini juga menyoroti represi terhadap kebebasan berpendapat yang terjadi selama pemerintahan Soeharto.
Dalam buku ini, masyarakat melihat bahwa meskipun secara formal kebebasan berpendapat dijamin, kenyataannya siapa pun yang berani mengkritik pemerintah bisa menghadapi ancaman, sensor, atau bahkan ditangkap. Hal ini terlihat dalam sindiran yang menyamakan Dwifungsi ABRI dengan sistem transportasi Metromini, di mana hanya satu orang yang mengendalikan, sementara yang lain terguncang tanpa bisa berbuat apa-apa. Dominasi militer dalam politik menjadi salah satu isu yang juga dikritik melalui humor dalam buku ini.
Relevansi dalam Konteks Politik Modern
Menurut Lim (2017), humor politik di era digital berkembang melalui media sosial dan meme, yang berfungsi sebagai alat kritik terhadap pemerintah dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam wacana politik. Meskipun buku ini ditulis dalam konteks Orde Baru, banyak kritiknya yang masih relevan dengan kondisi politik saat ini. Isu isu seperti korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan masih menjadi permasalahan di Indonesia. Humor politik masih digunakan oleh masyarakat sebagai alat untuk menyuarakan ketidakpuasan, baik melalui media sosial, meme, maupun stand-up comedy. Namun, ada beberapa tantangan dalam mempertahankan efektivitas humor sebagai alat perlawanan. Banyak lelucon dalam buku ini bersifat kontekstual dan mungkin sulit dipahami oleh generasi yang tidak mengalami langsung era Soeharto. Selain itu, ada risiko bahwa humor dapat dianggap hanya sebagai hiburan tanpa mendorong aksi nyata. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa humor politik tidak hanya menjadi pelepas ketegangan, tetapi juga membangun kesadaran kritis di masyarakat.
Fenomena humor sebagai alat kritik terhadap pemerintah yang korup tidak hanya terjadi di era Soeharto, tetapi juga terus berlanjut hingga saat ini. Seperti yang tergambar dalam buku Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto, humor politik tetap menjadi sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil, khususnya dalam isu korupsi.
Perkembangan humor politik di Indonesia telah mengalami transformasi signifikan dari era Orde Baru hingga era digital saat ini. Selama rezim Soeharto, humor politik sering muncul dalam bentuk-bentuk tersembunyi seperti anekdot lisan, lelucon tertulis, dan sindiran halus yang beredar di kalangan terbatas. Karakteristik utama humor politik era Soeharto adalah penggunaan metafora dan analogi yang cerdik untuk menghindari sensor dan potensi represi dari pemerintah.
Di era digital, bentuk humor politik semakin berkembang dengan munculnya meme, plesetan kata, dan sindiran yang tersebar luas di media sosial. Salah satu contoh yang baru-baru ini menjadi perbincangan adalah munculnya istilah ”Liga Korupsi Indonesia”, yang menyindir banyaknya kasus korupsi di berbagai sektor, seolah-olah Indonesia memiliki “kompetisi” tersendiri dalam hal praktik korupsi. Kritik ini menggambarkan betapa sistematisnya korupsi dalam pemerintahan, sehingga masyarakat melihatnya sebagai sesuatu yang terus berulang, mirip dengan liga olahraga yang selalu memiliki musim baru.
Hadiz dan Robison (2004) menjelaskan bahwa sistem politik di Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh praktik korupsi dan oligarki, yang sering kali menjadi objek satire dalam berbagai bentuk humor politik. Pada masa sekarang dalam kasus korupsi di Pertamina, muncul statement satir yang berbunyi, ”Pertalite dan Pertamax ternyata sama, bedanya Cuma nggak ngantri.” Fenomena ini menunjukkan bahwa humor masih menjadi cara efektif bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah, terutama ketika saluran kritik formal tidak selalu berjalan dengan baik. Humor politik dalam bentuk meme, plesetan, dan sindiran yang tersebar di media sosial memiliki efek viral yang cepat dan dapat membentuk opini publik terhadap suatu isu. Sama seperti yang terjadi di era Soeharto, humor tetap menjadi senjata rakyat dalam melawan ketidakadilan, dengan cara yang cerdas, ringan, tetapi tetap tajam.
Perbandingan dengan era digital menunjukkan perubahan signifikan dalam penyebaran dan dampak humor politik. Media sosial telah mendemokratisasi produksi dan penyebaran humor politik, sehingga siapa saja dapat menciptakan dan menyebarkannya melalui berbagai platform digital. Kecepatan penyebaran meme politik juga jauh lebih cepat, dapat menyebar dalam hitungan jam atau bahkan menit, menciptakan dampak yang lebih luas dibandingkan dengan humor politik era pra-digital. Selain itu, humor politik kontemporer lebih mengandalkan elemen visual dan multimedia, tidak hanya teks seperti di era Soeharto.
Menariknya, meskipun bentuk dan mediumnya berubah, fungsi dasar humor politik tetap sama: sebagai katarsis sosial dan alat perlawanan terhadap kekuasaan. Bahkan di era demokrasi, humor politik tetap menjadi saluran penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan kritik dan ketidakpuasan terhadap elit politik dan kebijakan pemerintah. Hal ini mencerminkan keterbatasan saluran formal untuk menyuarakan kritik, sehingga humor menjadi alternatif yang lebih aman dan dapat diterima.
Implikasi penting dari humor politik di era digital adalah kemampuannya untuk membangun kesadaran kolektif dan solidaritas di antara warga negara. Ketika suatu meme atau lelucon politik menjadi viral, ia tidak hanya menghibur tetapi juga menciptakan komunitas imajiner warga yang berbagi keprihatinan dan kritik yang sama. Namun, tantangan utamanya adalah mentransformasikan kesadaran kritis yang dihasilkan oleh humor politik menjadi tindakan nyata untuk perubahan sosial dan politik. Tanpa tindak lanjut konkret, humor politik berisiko menjadi sekadar pelepas ketegangan tanpa dampak nyata pada sistem politik yang diprotes.
Apresiasi dan Kritik terhadap Buku
Buku ini patut diapresiasi karena berani menerbitkan kumpulan humor yang menertawakan Soeharto di tengah situasi politik yang represif. Keberanian ini menunjukkan bahwa meskipun rakyat hidup dalam tekanan, mereka masih menemukan cara untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui humor. Menurut Kuipers (2008), humor politik efektif dalam membangun opini publik karena kemampuannya menyampaikan kritik dengan cara yang ringan, tetapi tetap tajam dan mengena. Selain itu, kreativitas dalam menggunakan bahasa juga menjadi daya tarik utama buku ini. Permainan kata dan akronim menunjukkan kecerdasan dalam mengolah bahasa sebagai alat kritik, menjadikannya lebih mudah dipahami dan dinikmati oleh masyarakat luas. Daya tarik humor dalam buku ini juga bersifat universal, karena banyak analogi yang bisa ditemukan dalam kritik politik di negara lain.
Namun, ada beberapa kelemahan dalam buku ini. Kontekstualitas yang terbatas membuatnya sulit dipahami oleh generasi yang lebih muda, terutama mereka yang tidak mengalami langsung era Soeharto. Selain itu, buku ini lebih banyak menyajikan humor dan satire tanpa memberikan analisis politik yang lebih mendalam, sehingga beberapa kritik yang terkandung di dalamnya berisiko hanya dianggap sebagai lelucon belaka. Ada juga potensi salah tafsir, di mana beberapa pembaca mungkin melihat humor ini hanya sebagai hiburan tanpa memahami pesan politik yang lebih dalam.
Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto adalah bukti bahwa humor dapat menjadi alat perlawanan yang efektif dalam menghadapi rezim otoriter. Melalui satire, permainan kata, dan anekdot jenaka, buku ini berhasil menyoroti berbagai kebijakan Soeharto yang dianggap menindas rakyat. Humor dalam buku ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga mencerminkan kecerdikan rakyat dalam menyiasati keterbatasan kebebasan berekspresi.
Namun, meskipun kritik dalam buku ini masih relevan dengan kondisi politik modern, ada tantangan dalam memastikan bahwa humor tidak hanya menjadi alat pelepas ketegangan, tetapi juga mendorong kesadaran politik yang lebih luas. Oleh karena itu, warisan humor politik seperti ini perlu didokumentasikan dan diadaptasi agar tetap relevan dengan zaman. Sebagai refleksi akhir, Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto mengingatkan kita bahwa dalam kondisi seberat apa pun, masyarakat akan selalu menemukan cara untuk berbicara—dan terkadang, cara terbaik untuk melawan adalah dengan tertawa.
Daftar pustaka
Aspinall, E. (2005). Opposing Suharto: Compromise, resistance, and regime change in Indonesia. Stanford University Press.
Billig, M. (2005). Laughter and ridicule: Towards a social critique of humour. SAGE Publications.
Kuipers, G. (2008). The politics of humour in the public sphere: Cartoons, power and modernity in the first transnational humour scandal. European Journal of Cultural Studies, 11(3), 283–301.
Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia. Critical Asian Studies, 49(3), 411–427.
Rakyat Indonesia. (1998). Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto. Pustaka GoRo-GoRo.
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets.