? "width=device-width,initial-scale=1.0,minimum-scale=1.0,maximum-scale=1.0" : "width=1100"' name='viewport'/> Dari Kelas ke Panggung Sastra: Juni 2025

Selasa, 17 Juni 2025

Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono

 

"Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono"

Penulis

Ledy Novwanty Nainggolan1, Shintya Akrima2, Zaskia Putri Andari3, Delfira Almuharomah Lubis4

 

            Cerpen “Keputusan Bapak Menjadi Pencuri” karya Indra Tranggono menyajikan sebuah narasi yang kaya akan konflik moral dan dilema sosial yang dihadapi individu dalam masyarakat yang kompleks. Dalam analisis sosiologis, cerpen ini tidak hanya mengungkapkan pergulatan batin sang bapak, tetapi juga mengkritisi tekanan struktural dan ketimpangan sosial yang sering mendorong seseorang untuk melanggar norma moral. Teori-teori sosiologi, seperti Teori Strukturasi karya Anthony Giddens dan Teori Konflik dari Karl Marx, relevan dalam memahami bagaimana ketidakseimbangan dalam struktur sosial dapat memengaruhi tindakan individu. Dalam konteks narasi ini, sang bapak menjadi representasi kelas bawah yang terperangkap dalam sistem ekonomi yang tidak adil, di mana akses terhadap sumber daya sangat terbatas. Tindakan mencuri yang diambilnya bisa dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas.

            Konflik moral dalam cerpen ini mencuat saat sang bapak harus menghadapi pilihan sulit: menjaga integritas moralnya atau mencorengnya demi menyelamatkan keluarganya dari kelaparan. Kutipan, 1 "Aku tahu mencuri itu salah, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Anak-anakku menangis kelaparan setiap malam," menunjukkan bahwa keputusan untuk mencuri bukanlah langkah yang mudah diambil, melainkan hasil dari tekanan sosial dan ekonomi yang mendesak. Sebagaimana dijelaskan oleh Rianto dan Sos (2024) dalam buku mereka Sosiologi: Suatu Pengenalan Ringkas, kemiskinan dan ketimpangan sosial seringkali memaksa individu untuk membuat keputusan yang melawan nilai-nilai moral yang mereka pegang. Hal ini sejalan dengan kondisi sang bapak yang terjebak dalam kemiskinan struktural, di mana sistem ekonomi yang tidak adil menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan.

            Struktur sosial yang timpang sering kali menimbulkan ketidakberdayaan bagi individu di lapisan bawah. Dalam cerpen ini, sang bapak digambarkan sebagai sosok yang terjepit oleh sistem yang tidak memberikan dukungan. Ia tidak memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak atau bantuan sosial yang memadai. Kutipan seperti, 2"Aku sudah mencoba mencari kerja ke mana-mana, tapi tidak ada yang mau menerimaku. Aku merasa seperti terperangkap," mencerminkan bagaimana ketidakadilan dalam struktur sosial dapat membatasi pilihan individu dan memaksa mereka untuk mengambil tindakan yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Penelitian oleh Setiawan, Fathurohman, dan Hidayati (2024) dalam kajian sosiologi sastra menegaskan bahwa ketidakberdayaan sosial sering kali disebabkan oleh minimnya akses terhadap sumber daya ekonomi dan dukungan sosial.

            Di samping tekanan ekonomi, norma sosial dan stigma juga berperan penting dalam konflik moral yang dihadapi sang bapak. Masyarakat seringkali memberikan stigma negatif terhadap tindakan mencuri tanpa mempertimbangkan konteks di baliknya. Hal ini menambah beban psikologis bagi sang bapak, seperti yang tergambar dalam kutipan, 3"Aku takut dilihat orang, takut dihakimi. Tapi lebih dari itu, aku takut melihat mata anak-anakku yang kelaparan. " Menurut Asyari, Wahyuni, dan Harmen (2024) dalam penelitian mereka tentang stigma sosial, stigma dapat membuat individu merasa terisolasi dan tertekan, terutama ketika mereka melakukan tindakan yang dianggap menyimpang.

            Dalam cerpen ini, stigma terhadap pencurian semakin memperumit konflik moral yang dialami sang bapak. Ia bukan hanya harus menghadapi konsekuensi moral dari tindakannya, tetapi juga dampak sosial yang mungkin muncul. Melalui analisis sosial, kita dapat memahami bahwa keputusan sang bapak untuk mencuri dalam cerpen ”Keputusan Bapak Menjadi Pencuri” bukan hanya sekadar akibat dari kelemahan moral individu, melainkan juga dipengaruhi oleh tekanan struktural dan ketimpangan sosial. Kemiskinan, ketidakberdayaan, dan stigma sosial menciptakan sebuah situasi di mana tindakan yang dianggap melanggar norma menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia.

            Cerpen ini mengajak kita untuk melihat perilaku manusia dalam konteks yang lebih luas dengan mempertimbangkan berbagai faktor sosial yang melatarbelakanginya. Penulis dengan berani mengangkat isu kemiskinan dan ketidakadilan sosial yang mendorong seseorang untuk memilih jalur pintas. Realitas ini disampaikan dengan jelas, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi, sehingga pembaca diajak untuk merenungkan kondisi masyarakat yang tidak memberikan alternatif bagi mereka yang terdesak secara ekonomi.

            Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kasus yang mencerminkan tema kemiskinan dan tindakan kriminal sebagai bentuk usaha bertahan hidup. Misalnya, di beberapa daerah urban di Indonesia, ada laporan tentang meningkatnya angka pencurian dan kejahatan kecil yang dilakukan oleh individu yang terjebak oleh kondisi ekonomi. Penelitian oleh Suciramdhan, Farhan, dan Firmansyah (2024) dalam analisis konflik dan pesan moral dalam film Mencuri Raden Saleh juga mengungkapkan bahwa banyak pelaku kejahatan berasal dari latar belakang keluarga yang mengalami kemiskinan, merasa tidak memiliki pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

            Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 9,54% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan ketimpangan sosial yang tercermin dalam distribusi kekayaan yang tidak merata. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah faktor-faktor signifikan yang memengaruhi keputusan individu untuk mengambil tindakan yang dianggap melanggar norma moral.


DAFTAR PUSTAKA

Rianto, A., & Sos, S. (2024). Sosiologi: Suatu Pengenalan Ringkas. Penerbit K-Media.

Asyari, D. P., Wahyuni, A., & Harmen, E. L. (2024). Stigma Sosial dan Dampaknya pada Akses Layanan Kesehatan bagi Penderita HIV/AIDS Di Indonesia. Applicare Journal1(4), 50-56.

Setiawan, J., Fathurohman, I., & Hidayati, N. A. (2024). Nilai Moral dan Konflik Sosial Dalam Naskah Drama “Kocak-Kacik” Karya Arifin C Noer: Kajian Sosiologi Sastra. Bahtera Indonesia; Jurnal Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia9(1), 317-331.\

Suciramdhan, A. S., Farhan, E., & Firmansyah, R. (2024). Analisis Isi Konflik dan Pesan Moral dalam Film Mencuri Raden Saleh. Jurnal Bisnis Dan Komunikasi Digital1(3), 7-7.


Kamis, 12 Juni 2025

Hukum dalam Lintasan Sejarah: Analisis Apresiasi dan Kritik Sastra terhadap Lima Puisi dari Masa Pra-Penjajahan hingga Pasca-Orde Baru

 

Hukum dalam Lintasan Sejarah: Analisis Apresiasi dan Kritik Sastra terhadap Lima Puisi dari Masa Pra-Penjajahan hingga Pasca-Orde Baru

Oleh:

Mutiara Aprilia, Mannnawa Salwa, Grace Evelyn Hutabarat

 

Sastra memiliki peran penting dalam merefleksikan kondisi sosial, politik, dan hukum dalam suatu masyarakat. Puisi, sebagai salah satu bentuk sastra, sering kali menjadi media kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi dalam berbagai periode sejarah. Dalam konteks hukum, puisi dapat menggambarkan bagaimana sistem hukum diterapkan, bagaimana keadilan ditegakkan, serta bagaimana hukum bisa menjadi alat penindasan atau perubahan sosial. Sejak masa pra-penjajahan hingga pasca-Orde Baru, puisi telah merekam perjalanan hukum di Indonesia, baik sebagai instrumen moral, alat kolonialisasi, sarana perlawanan, maupun sebagai kritik terhadap sistem yang tidak adil.

Puisi “Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji yang diciptakan pada masa pra-penjajahan, misalnya, menyoroti betapa pentingnya hukum yang berlandasan etika dan tanggung jawab para pemimpin dalam menegakkan keadilan. Sementara itu, dalam masa kolonial, "Tanah Air" karya Muhammad Yamin menjadi representasi ketidakadilan hukum kolonial terhadap pribumi dan keberpihakan sistem hukum pada penguasa. Pada era Orde Lama, "Diponegoro" karya Chairil Anwar mencerminkan semangat perlawanan terhadap hukum kolonial yang menindas. Ketika memasuki Orde Baru, "Sajak Seonggok Jagung" karya W.S. Rendra menyoroti ketimpangan sosial akibat hukum yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Sementara dalam era reformasi, "Negeri Para Bedebah" karya Taufiq Ismail masih mengkritik korupsi dalam sistem hukum yang tetap menguntungkan elite politik.

Melalui kelima puisi ini, dapat dilihat bahwa hukum dalam lintasan sejarah Indonesia mengalami berbagai perubahan, tetapi pada beberapa aspek, ketidakadilan tetap bertahan dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu, kajian apresiasi dan kritik sastra terhadap lima puisi ini menjadi penting untuk memahami bagaimana hukum direpresentasikan dalam berbagai era dan bagaimana sastra berperan sebagai refleksi sekaligus alat kritik sosial terhadap sistem hukum yang berlaku.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana hukum direpresentasikan dalam lima puisi dari berbagai periode sejarah Indonesia. Kemudian mengkaji perubahan perspektif terhadap hukum dalam sastra dari masa pra-penjajahan hingga pasca-Orde Baru. Lalu memberikan apresiasi terhadap puisi sebagai bentuk kritik sosial terhadap sistem hukum di Indonesia. Mengidentifikasi pola kritik hukum yang muncul dalam sastra serta relevansinya dengan kondisi hukum di setiap era.

 

1. Masa Pra-Penjajahan Puisi Gurindam Dua Belas – Raja Ali Haji (1847)

Gurindam 12

Raja mufakat dengan menteri,

seperti kebun berpagarkan duri.

Betul hati kepada raja,

tanda jadi sebarang kerja.

Hukum adil atas rakyat,

tanda raja beroleh inayat.

Kasihkan orang yang berilmu,

tanda rahmat atas dirimu.

Hormat akan orang yang pandai,

tanda mengenal kasa dan cindai.

Ingatkan dirinya mati,

itulah asal berbuat bakti.

Akhirat itu terlalu nyata,

kepada hati yang tidak buta.

 

1)                 Sejarah Singkat Gurindam Dua Belas Karya Raja Ali Haji

Gurindam Dua Belas merupakan sebuah karya monumental yang ditulis oleh Raja Ali Haji pada tahun 1847 di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. Karya ini terdiri dari dua belas pasal yang setiap pasalnya mengandung nasihat tentang moral, etika, dan hukum. Raja Ali Haji, yang lahir pada tahun 1808, dikenal sebagai seorang ulama, sejarawan, dan sastrawan terkemuka di Kesultanan Riau-Lingga. Beliau juga merupakan cucu dari Raja Haji Fisabilillah, seorang pahlawan nasional Indonesia. Gurindam Dua Belas ditulis sebagai respons terhadap perubahan sosial dan budaya akibat pengaruh Barat yang mulai meresap ke dalam masyarakat Melayu saat itu. Melalui karyanya, Raja Ali Haji berusaha mengingatkan masyarakat akan pentingnya nilai-nilai moral dan hukum yang berlandaskan ajaran Islam.

 

2)                 Analisis Hukum dalam Lintasan Sejarah: Analisis Apresiasi dan Kritik Sastra

Gurindam Dua Belas tidak hanya menawan dalam bentuk sastra, tetapi juga menyimpan wawasan mendalam tentang konsep hukum dan keadilan dalam masyarakat Melayu sebelum masa penjajahan. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hermandra (2022) mengungkapkan bahwa karya ini sarat dengan nilai-nilai religius, moral, dan elemen pendidikan. Pesan-pesan tersebut disampaikan dengan bahasa yang sederhana, namun kaya akan makna, sehingga mudah dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, analisis semantik terhadap pasal pertama “Gurindam Dua Belas” menunjukkan bahwa Raja Ali Haji menggunakan sturuktur kalimat yang kaya frasa nominal dan kata kerja, yang semakin memperkuat pesan moral yang ingin disampaikannya.

Dalam konteks hukum, Gurindam Dua Belas berperan sebagai pedoman etis bagi pemimpin dan masyarakat. Raja Ali Haji menekankan bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil dan berdasarkan nilai-nilai agama. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa implementasi hukum dalam masyarakat Melayu saat itu sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam dan adat istiadat setempat.

. Dalam pasal-pasalnya, Raja Ali Haji menekankan pentingnya hubungan harmonis antara raja dan menteri, serta keadilan dalam pemerintahan. Misalnya, pada salah satu bait disebutkan:

 

Bait 1:

"Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri."

Bait ini menekankan pentingnya kesepakatan antara pemimpin dan para penasihatnya (menteri) dalam menjalankan pemerintahan. Jika raja dan menteri saling sepakat dan bekerja sama, maka pemerintahan akan kuat dan terlindungi, seperti kebun yang dikelilingi oleh duri untuk melindungi diri. Dalam konteks hukum, hal ini mencerminkan prinsip musyawarah dan mufakat sebagai landasan dalam pengambilan keputusan yang adil. Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam serta sistem pemerintahan tradisional Melayu yang menekankan pentingnya kepemimpinan yang bersandar pada kebijaksanaan kolektif.

 

Bait 2:

"Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja."

 

Bait ini mengekspresikan kesetiaan rakyat terhadap pemimpin adalah kunci keberhasilan pemerintahan. Jika rakyat memiliki kepercayaan kepada pemimpinnya, maka setiap kebijakan yang dijalankan akan terlaksana dengan baik. Dalam hukum modern, ini bisa dikaitkan dengan prinsip legitimasi dalam pemerintahan, di mana hukum hanya dapat ditegakkan jika masyarakat mematuhinya. Namun, kritiknya adalah kesetiaan kepada pemimpin harus disertai dengan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan, agar tidak berujung pada pemerintahan yang otoriter.

 

Bait 3:

“Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat”

 

Keadilan hukum merupakan aspek fundamental yang harus dimiliki seorang pemimpin agar dapat meraih keberkahan dan legitimasi dalam kepemimpinan. Dalam sejarah hukum Melayu, hukum adat dan syariah Islam sering digunakan dalam pengambilan keputusan. Prinsip keadilan ini sejalan dengan konsep negara hukum dalam demokrasi modern, di mana pemimpin harus menjalankan hukum tanpa diskriminasi. Kritiknya adalah keadilan dalam hukum harus bersifat universal dan tidak hanya berlaku dalam sistem monarki, tetapi juga dalam sistem pemerintahan yang lebih demokratis.

 

Bait 4:

“Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu”

 

Bait ini menekankan pentingnya menghargai dan mengutamakan orang berilmu dalam masyarakat. Dalam sejarah hukum Islam dan tradisi Melayu, ilmu pengetahuan sering menjadi dasar dalam perumusan kebijakan. Dalam konteks hukum modern, ini berkaitan dengan penghormatan terhadap ahli hukum, akademisi, dan ilmuwan dalam penyusunan undang-undang yang berbasis keilmuan. Namun, dalam praktiknya, masih sering terjadi marginalisasi terhadap pemikir dan akademisi dalam pengambilan keputusan politik dan hukum.

 

Bait 5:

“Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai”

 

Bait ini mengajarkan bahwa menghormati orang cerdas menunjukkan kebijaksanaan seseorang. Dalam sejarah hukum, pemimpin yang bijak akan mendengarkan para penasihat dan ahli hukum sebelum mengambil keputusan. Konsep ini mirip dengan prinsip check and balance dalam sistem pemerintahan modern. Kritiknya adalah penghormatan kepada orang pandai tidak boleh hanya bersifat simbolis, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang memberikan ruang bagi kaum intelektual untuk berkontribusi dalam pembangunan hukum dan pemerintahan.

 

Bait 6:

“Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti”

 

Kesadaran akan kematian dihubungkan dengan perilaku baik dan pengabdian. Dalam konteks hukum, ini dapat diinterpretasikan sebagai pengingat bagi pemimpin dan rakyat bahwa setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun di akhirat. Prinsip ini erat kaitannya dengan konsep akuntabilitas dalam hukum modern, di mana setiap pejabat negara harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan keputusan mereka. Namun, kritiknya adalah kesadaran akan kematian tidak cukup untuk menegakkan keadilan; harus ada sistem hukum yang kuat untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara nyata.

 

Bait 7:

“Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta”

 

Bait ini menegaskan keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan hanya orang yang memiliki hati yang bersih yang dapat memahami hal ini. Dalam hukum Islam dan adat Melayu, konsep ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa pemimpin dan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Dalam hukum modern, ini mencerminkan pentingnya etika dan moralitas dalam sistem peradilan. Kritiknya adalah meskipun kesadaran moral sangat penting, sistem hukum yang kuat tetap diperlukan untuk memastikan bahwa prinsip keadilan benar-benar dijalankan di dunia ini.

 

“Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji adalah karya sastra yang kaya akan nilai hukum dan moral. Setiap baitnya mencerminkan prinsip-prinsip hukum yang relevan dengan konteks sejarah Melayu dan tetap relevan dalam sistem hukum modern. Prinsip seperti musyawarah, keadilan, penghormatan terhadap ilmu, serta akuntabilitas dalam kepemimpinan merupakan nilai-nilai yang masih diterapkan dalam sistem hukum saat ini. Namun, kritik terhadap teks ini adalah bahwa ia masih berpusat pada sistem monarki dan tidak menyinggung secara eksplisit konsep demokrasi atau hak asasi manusia. Oleh karena itu, meskipun nilai-nilai Gurindam Dua Belas tetap memiliki relevansi yang tinggi dan penerapannya dalam sistem hukum modern sangatlah penting harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.

 

 

2. Masa Kolonial Puisi “Tanah Air” Karya Muhammad Yamin (1922)


“Tanah Air”


 


Di atas batasan Bukit Barisan

Memandang beta ke bawah memandang:

Tampaklah hutan rimba dan ngarai

Lagipun sawah, telaga nan permai:

Serta gerangan lihatlah pula

Langit yang hijau bertukar warna

Oleh pucuk daun Kelapa:

Itulah tanah, tanah airku

Sumatera namanya ntumpah daraku.

 

Indah ‘alam warna pualam

Tempat moyangku nyawa tertumpang;

Walau berabad sudah lampau

Menutupi Andalas di Waktu nan silau

Masih kubaca di segenap mejan

Segala kebaktian seluruh zaman, serta perbuatan yang mulia- hartawan

Nan ditanam segala milikku

Dikorong kampung hak milikku.

 

Sesudah melihat pandang dan tilik

Timur dan Barat, hilir dan mudik,

Teringatlah pulau tenpat terdidik

Dilumuri darah bertitik-titik

Semasa pulai berpangkat naik:

O, Bangsaku, selagi tenaga

Nan dipintanya berkenan juga

 

Gunung dan bukit bukan sedikit

Melengkung ditaman bergelung-gelung

Memagari daratan beberapa lembah;

Di sanalah penduduk tegak dan rebah

Sejak beliyungvdapat merambah

 

Sampai ke zaman sudah berubah:

Sabas Andalas, bunga bergubah

Mari kujunjung, mari kusembah

Hatiku sedikit haram berubah!

 

Anak perca kalbunya cuaca

Apabila terkenang waktu nan hilang!

Karena kami anak Andalas

Sejak dahulu sampai keatas

Akanbseia sehidup semati

Sekata sekumpul seikat sehati

Senyawa sebadan sungguh sejati

Baik di badan, bersuka raya

Ataupun diserang, bala bahaya

 

Hilang bangsa bergantikan bangsa

Luput masa timbullah masa...

Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah

Sajak dunia mula tersimbah

Sampai ke zaman bagus dan indah

Atau tenggelam bersama ke lembah

Menyerikan cahaya penuh dan limpah.

Tetapi Andalas di zaman nan tiba

Ibu bergantung ke tuan dan hambaItu bergantung ke tuan dan hamba.

 

 Awal berawal semula asal

Kami serikat berpagarkan ‘adat,

Tapi pulauku yang mulia raya

Serta Subur, tanahnya kaya

Mari kupagar serta kubilai

Dengan kemegahan sorak semarai

Lagi ketinggian berbagai nilai,

Karena di sanalah darahku tertumpah

Serta kupinta berkangkan tanah.

 

Yakin pendapat akan sepakat

‘Akibat Barisan manik seikat;

Baaikpun hampir jauh dan dekat,

Lamun pulauku mari kuangkat

Dengan tenaga kata mufakat

Karena, bangsaku asal’ lai serikat

Mana yang jauh rasakan dekat

Waktu yang panjang rasakan singkat,

Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.

 

O, tanah, wahai pulauku

Tempat bahasa mengikat bangsa,

Kuingat dihati siang dan malam

Sampai semangat ku suram dan silam;

Jikalau Sumatera tanah mulia

Meminta kurban bagi bersama

Terbukalah hatiku badanku reda

Memberikan kurban segala tenaga,

Berbarang dua kuunjukkan tiga

Elok pemandang kesana barisan

Ke pihak Timu pantai nan kabur,

Sela versela tamasa nan ramai

Diselangi subgai yang amat permai:

Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai

Menhalirkan ia hendak mencapai

Jauh di sna teluk yang lampai;

Di mana dataran sudah dibilai

Tinggallah emas tiasda ternilai.

 


 

Puisi “Tanah Air” oleh Muhammad Yamin adalah salah satu karya sastra yang merupakan cinta yang mendalam dalam arti yang lebih luas dari kampung halamannya, Sumatra dan Indonesia. Dengan citra alam yang menarik dan simbolisme yang mendalam, Yamin mengungkapkan rasa bangga dan cintanya pada kota asalnya.

 

1)                 Analisis Bait yang Berhubungan dengan Hukum dan Relevansi Masa Kini

Meskipun puisi ini lebih banyak menyoroti keindahan alam dan semangat persatuan, terdapat beberapa bait yang dapat dikaitkan dengan aspek hukum dan relevansinya dalam konteks modern:

Bait Pertama:

“Diatas batasan Bukit Barisan

Memandang beta kebawah memandang:

Tamoaklah hutan rimba dan ngaraipp

Lagipun sawah, telaga nan oermai:

Serta gerangan lihatlah pula

Langut yang hijau bertukar warna

Oleh pucuk daun kelap;

Itulah tanah, tanah airku

Sumatera namanya tumpah daraku”

 

 

   Dalam bait ini, Yamin menggambarkan kekayaan alami Sumatra. Penjelasan ini mengingatkan kita akan pentingnya perlindungan hukum terhadap lingkungan. Dalam konteks modern, ini berkaitan dengan konservasi alam dan sumber daya melalui perlindungan lingkungan dan hukum manajemen.

 

Bait Ketiga

“Rindu digunung duduk bermenung

Terkenangkan masa yang sudah lindang;

Sesudah melihat pandangan dan tilik

Timur dan Barat, hilir dan mudik:

Teringatlah pulau tempat terdidik

Dilumuri darah bertitik-titik,

Semasa pulai berpangkat naik;

O, Bangsaku, selagi tenaga

Nan dipintanya berkenan juga”

 

   Yamin merenungkan masa lalu dan perjuangan yang telah dilalui. Frasa "Dilumuri darah bertitik-titik" mengindikasikan pengorbanan dalam mencapai kemerdekaan. Ini berkaitan dengan hukum yang mengatur penghormatan terhadap pahlawan dan veteran, serta pentingnya pendidikan sejarah dalam kurikulum nasional untuk menghargai jasa mereka.

 

Bait Keenam:

“Anak perca kalbunya cuaca

Apabila terkenang waktu nan hilang,

Karena kami anak Andalas

Sejak dahulu sampai ke atas

Akan seia sehidup semati

Sekata sekumpul seikat sehati

Senyawa sebadan sungguh sejati

Baik didalam bersuka raya

Ataupun diserang bala bahaya”

 

   Bait ini menekankan persatuan dan kesatuan. Nilai-nilai ini tercermin dalam dasar negara, Pancasila, khususnya sila ketiga: "Persatuan Indonesia." Dalam konteks hukum, ini relevan dengan undang-undang yang mengatur tentang keutuhan dan kedaulatan negara, serta penanganan terhadap ancaman disintegrasi bangsa.

Menurut Susilowati dan Qur'ani (2021), puisi "Tanah Air" mengandung struktur fisik dan batin yang kaya, mencerminkan tema cinta tanah air dan semangat persatuan. Analisis mereka menunjukkan bahwa Yamin berhasil menggabungkan deskripsi alam dengan nilai-nilai nasionalisme, yang tetap relevan hingga saat ini.

Selain itu, penelitian oleh Tröhler (2020) menekankan pentingnya literasi nasional dalam membentuk kesadaran berbangsa. Puisi seperti "Tanah Air" berperan dalam membangun identitas nasional dan kesadaran hukum di kalangan masyarakat.

 

3. Masa Orde Lama Puisi Diponegoro Karya Chairil Anwar (1943)

Dilonegoro

Dimasa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Didepan sekali tuan menanti

Tak ganta. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang dikanan, keris dikiti

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti

Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri

Bagimu Negeri

Menyediahkan api

Punah diatas menghamba

Inasa diatas ditindas

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu.

Serang.

Terjang.

 

Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar merupakan salah satu puisi yang menggambarkan semangat perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan Belanda. Melalui diksi yang tegas dan penuh semangat, puisi ini tidak hanya merepresentasikan perlawanan fisik tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Dalam konteks hukum dan sejarah, puisi ini dapat dikaitkan dengan berbagai aspek seperti hukum kolonial, hukum perang, hak asasi manusia, dan semangat nasionalisme yang masih relevan dalam kehidupan bernegara saat ini.

 

Bait Pertama

“Dimasa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api”

 

Dalam bait ini, Chairil Anwar menunjukkan bahwa semangat Pangeran Diponegoro terus hidup di zaman perkembangan.

 Ini bisa terkait dengan hukum negara yang mengkonfirmasi rasa hormat terhadap pahlawan bangsa. Legal Nomor 20 Pada tahun 2009 dalam hal judul, tanda -tanda layanan dan tanda -tanda kehormatan adalah dasar hukum untuk pengakuan resmi terhadap angka yang menentukan dalam perjuangan negara itu. Selain itu, penghormatan terhadap pahlawan juga merupakan bagian dari pendidikan karakter dan nasionalisme dalam masyarakat pendidikan Indonesia.

 

 

Bait Kedua

“Di depan sekali tuan menanti

Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris dikiri, berselempang semangat yang tak bisa mati.”

 

Bait ini menggambarkan keberanian Diponegoro yang menghadapi musuh meskipun dalam keadaan sulit. Dalam konteks hukum, ini dapat dikaitkan dengan hak untuk membela diri dan perjuangan melawan ketidakadilan. Perjuangan Diponegoro tidak hanya melawan penjajahan fisik tetapi juga menentang sistem hukum kolonial yang menindas rakyat. Dalam hukum modern, hak atas perlawanan terhadap ketidakadilan dapat ditemukan dalam prinsip rule of law, yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia dan penolakan terhadap hukum yang diskriminatif.

 

 

Bait Ketiga

“Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti

Sudah itu mati.”

 

Bait ini mencerminkan perjuangan yang tidak memerlukan pengakuan formal (Shotted), tetapi didorong oleh keyakinan yang kuat. Dalam konteks hukum, ini mungkin terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan ekspresi. Ini adalah Pasal 28 Konstitusi 19

5 dan nomor hukum 9 tahun 1998, yang dapat diakses sehubungan dengan kemerdekaan dari ekspresi publik. Semangat perjuangan yang tidak tunduk pada penguasa mencerminkan hak -hak orang dalam sistem demokrasi untuk menentang penipuan melalui saluran yang sah, termasuk perlawanan hukum di pengadilan.

 

 

Bait Keempat

“Bait Keempat

Bagimu negeri

Menyediakan api

Punah diatas menghamba

Inasa diatas ditinda”

 

Dalam bait ini, kata API melambangkan semangat perjuangan. Api di sini dapat diartikan sebagai persepsi hukum yang memicu antusiasme mereka yang menolak untuk menekannya. Dalam konteks hukum modern, ini mencerminkan prinsip -prinsip keadilan sosial, seperti prinsip kelima Pankasila dan Pasal 27 Konstitusi 19 5, dan menjamin kesetaraan (kesetaraan di hadapan hukum) di hadapan hukum. Selain itu, konsep non-integrasi dengan penindasan mengikuti prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia internasional yang mengkonfirmasi bahwa setiap individu memiliki hak untuk menolak pedoman atau sistem yang melanggar hak-hak dasar.

 

Bait Kelima

“Jika hidup harus mersai

Maju

Serbu

Serang”

 

Bait terakhir ini menunjukkan semangat yang tak kenal menyerah. Ini berkaitan dengan prinsip due process of law, di mana perjuangan menuntut keadilan harus terus dilakukan melalui jalur hukum yang sah. Dalam konteks hukum modern, hal ini relevan dengan berbagai kasus hukum yang melibatkan perjuangan rakyat dalam menegakkan hak mereka, seperti kasus agraria, hak buruh, dan perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil melalui mekanisme hukum seperti judicial review di Mahkamah Konstitusi.

 

Menurut Prasetyo (2019), puisi Diponegoro mencerminkan semangat perjuangan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga ideologis. Ia menegaskan bahwa semangat ini masih relevan dalam perjuangan hukum di era modern, terutama dalam konteks demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Penelitian oleh Supriyadi dan Hidayat (2021) menunjukkan bahwa puisi ini memiliki keterkaitan dengan semangat kebebasan berekspresi dan perlindungan hukum terhadap individu yang menolak ketidakadilan. Mereka menyoroti bahwa dalam sistem hukum demokratis, perlawanan terhadap ketidakadilan tidak selalu dalam bentuk fisik, tetapi juga melalui jalur hukum dan advokasi.

 

Puisi Diponegoro tidak hanya sekadar puisi perjuangan tetapi juga memiliki relevansi hukum dalam konteks modern. Puisi ini menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan yang dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law, hak asasi manusia, perlindungan hukum terhadap pahlawan, dan hak atas kebebasan berekspresi. Dalam konteks hukum Indonesia, puisi ini mengingatkan kita pada pentingnya melawan ketidakadilan melalui jalur hukum yang sah serta terus memperjuangkan hak-hak rakyat.

 

4. Masa Orde Baru Puisi Sajak Seonggok Jagung Karya W.S. Rendra (1973)

Puisi Perjuangan W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

 

Puisi Aku Tulis Pamflet Ini karya W.S. Rendra menggambarkan kritik sosial terhadap kondisi politik dan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat. Puisi ini menyoroti ketidakpastian hukum, penyalahgunaan kekuasaan, serta bagaimana kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dibatasi oleh otoritas yang berkuasa. Dalam konteks hukum modern, puisi ini masih relevan, terutama dalam diskusi tentang kebebasan pers, hak asasi manusia, dan supremasi hukum.

 

Bait Pertama

"Aku tulis pamflet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng-iya-an"

 

Bait ini menggambarkan kondisi di mana lembaga yang seharusnya menjadi tempat penyampaian pendapat umum justru mengalami pembungkaman. Dalam konteks hukum, hal ini dapat dikaitkan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, dalam praktiknya, masih banyak regulasi yang menekan kebebasan berbicara, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang sering digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau pihak berwenang. Menurut penelitian Yanuar (2019), penerapan UU ITE sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi individu yang mengungkapkan pendapatnya secara kritis, menunjukkan bahwa kritik yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi justru dibatasi oleh hukum yang represif.

 

Bait Kedua

"Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya menjadi isi kebon binatang"

 

Bait ini mengkritik ketidakpastian hukum dan kondisi sosial yang penuh dengan ancaman serta kekacauan. Dalam konteks hukum, hal ini dapat dikaitkan dengan prinsip rule of law, di mana hukum seharusnya memberikan kepastian dan melindungi hak-hak individu. Namun, dalam banyak kasus, hukum justru menjadi alat kekuasaan yang berubah-ubah sesuai kepentingan pihak tertentu. Hal ini selaras dengan pendapat Arifin (2020), yang menyatakan bahwa ketidakpastian hukum dalam sistem peradilan Indonesia sering kali dipengaruhi oleh faktor politik dan ekonomi, menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.

 

Bait Ketiga

"Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan."

 

Bait ini menyoroti bagaimana kritik yang hanya diperbolehkan melalui jalur resmi akan kehilangan maknanya karena dikendalikan oleh pihak berkuasa. Dalam konteks hukum, hal ini berkaitan dengan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan mencari, menerima, dan menyampaikan informasi melalui media apa pun. Namun, dalam praktiknya, kebijakan sensor dan regulasi yang ketat terhadap media sering kali membuat kritik tidak memiliki dampak yang berarti. Menurut penelitian Suryadi (2022), monopoli informasi oleh pemerintah atau korporasi besar dapat menghambat demokrasi dan menyebabkan penyebaran informasi yang tidak berimbang.

 

Bait Keempat

"Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka."

 

Bait ini menyoroti pentingnya kebebasan berbicara dalam kehidupan sosial dan demokrasi. Dalam konteks hukum, hal ini berkaitan dengan prinsip deliberasi publik, di mana masyarakat seharusnya memiliki ruang untuk berdiskusi tanpa rasa takut. Namun, ketakutan terhadap represi hukum sering kali menghambat perdebatan terbuka. Penelitian oleh Lestari (2021) menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, kebebasan berbicara harus dijamin tanpa ancaman kriminalisasi, karena perbedaan pendapat merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi yang sehat.

 

Bait Kelima

"Matahari menyinari air mata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah Kegamangan. Kecurigaan. Ketakutan. Kelesuan."

 

Bait ini menggambarkan bagaimana ketakutan dan represi mengakibatkan masyarakat menjadi tidak berdaya dan kehilangan semangat. Dalam konteks hukum, ini dapat dikaitkan dengan efek chilling (chilling effect), yaitu dampak negatif dari regulasi yang represif terhadap kebebasan berbicara, di mana individu memilih diam karena takut dikriminalisasi. Menurut Wahyudi (2018), efek chilling yang disebabkan oleh regulasi yang ketat terhadap kebebasan berpendapat menyebabkan masyarakat lebih memilih diam daripada mengambil risiko menghadapi konsekuensi hukum.

 

Bait Keenam

"Aku tulis pamflet ini karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca : ternyata kita, toh, manusia!"

 

Bait terakhir ini memberikan harapan bahwa meskipun ada represi dan ketidakadilan, masih ada kemungkinan perubahan. Dalam konteks hukum, ini mencerminkan pentingnya reformasi hukum untuk menjamin kebebasan dan keadilan bagi semua. Reformasi hukum yang memastikan bahwa hukum tidak hanya berpihak pada penguasa tetapi juga pada rakyat merupakan langkah penting dalam membangun negara yang demokratis.

Menurut Yanuar (2019), puisi W.S. Rendra mencerminkan kondisi represif yang masih relevan dengan situasi hukum di Indonesia saat ini, di mana kebebasan berekspresi masih sering dikekang. Arifin (2020) menambahkan bahwa ketidakpastian hukum dan monopoli kekuasaan dalam informasi dapat menghambat perkembangan demokrasi. Suryadi (2022) menekankan bahwa perlu ada reformasi dalam kebijakan informasi agar masyarakat memiliki akses terhadap berita yang jujur dan tidak termanipulasi.

Puisi Aku Tulis Pamflet Ini mengandung kritik tajam terhadap represi hukum dan pembatasan kebebasan berekspresi yang masih relevan hingga saat ini. Puisi ini mencerminkan pentingnya kebebasan berbicara, kepastian hukum, dan perlawanan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dengan berbagai peraturan yang masih membatasi kritik, puisi ini menjadi pengingat bahwa demokrasi yang sehat harus menjamin ruang untuk perdebatan terbuka dan kebebasan berpikir.

 

5. Masa Reformasi – Pasca-Orde Baru Puisi Negeri Para Bedebah Karya Adhie Massardi (2018)

Negeri Para Bedebah

 

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah

Lautnya pernah dibelah tongkat Musa

Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah

Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

 

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?

Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah

Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah

Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

 

Di negeri para bedebah

Orang baik dan bersih dianggap salah

Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan

Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah

Karena hanya penguasa yang boleh marah

Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

 

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah

Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah

Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum

Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

 

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah

Usirlah mereka dengan revolusi

Bila tak mampu dengan revolusi,

Dengan demonstrasi

Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi

Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Puisi Negeri Para Bedebah mengandung kritik sosial yang relevan dengan situasi hukum dan politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Setiap baitnya menggambarkan ketimpangan hukum, ketidakadilan sosial, serta ketimpangan ekonomi yang berakar pada sistem pemerintahan yang korup dan otoriter.

Bait pertama mengandung referensi historis dan keagamaan yang kuat. Penyebutan tongkat Musa yang membelah laut, peristiwa bah yang memaksa Nuh meninggalkan daratan, serta burung-burung kondor yang menjatuhkan bebatuan menyala-nyala (kemungkinan merujuk pada kisah kaum Nabi Luth atau Ababil) memberikan gambaran simbolik tentang negeri yang penuh dengan kezaliman. Secara hukum, bait ini menggambarkan bahwa dalam sejarah, negeri yang penuh ketidakadilan selalu mengalami kehancuran akibat ketidakpatuhan terhadap norma dan hukum yang benar.

Bait kedua mengkritik pemimpin yang hidup mewah sementara rakyatnya menderita. Ini berhubungan erat dengan teori hukum sosial yang dikemukakan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), yang menyatakan bahwa keadilan sosial harus didasarkan pada distribusi yang adil atas kekayaan dan kesempatan. Dalam konteks hukum modern, hal ini dapat dikaitkan dengan prinsip good governance yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Hadad (2018) dalam penelitiannya, di banyak negara berkembang, pelaksanaan hukum yang berpihak pada rakyat masih sering dikalahkan oleh kepentingan oligarki.

Bait ketiga menyoroti kriminalisasi terhadap orang baik dan bersih. Dalam perspektif hukum, ini mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang banyak terjadi di negara dengan supremasi hukum yang lemah. Teori hukum kritis yang dikemukakan oleh Duncan Kennedy (1978) menyebutkan bahwa hukum sering kali menjadi alat untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu, bukan sebagai sarana keadilan yang netral. Hal ini diperkuat oleh penelitian Aji dan Syarif (2020) yang menemukan bahwa banyak aktivis dan jurnalis yang mengkritik kebijakan pemerintah justru dipidanakan dengan tuduhan yang lemah secara hukum.

Bait keempat membahas penipuan pemilu dan ketidakadilan dalam sistem politik. Dalam ilmu hukum tata negara, hal ini dapat dikaitkan dengan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 tentang pemilu yang jujur dan adil. Seperti yang dikemukakan oleh Mahfud MD (2019), pemilu yang tidak adil akan menciptakan pemerintahan yang tidak sah secara moral dan hukum, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap negara.

Bait kelima menegaskan peran rakyat dalam mengubah keadaan dengan revolusi, demonstrasi, atau diskusi. Ini mencerminkan konsep perubahan hukum dalam perspektif sosiologi hukum yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich (1936), yang menyatakan bahwa hukum sejatinya harus mencerminkan kehendak masyarakat. Sejalan dengan itu, penelitian oleh Wijaya dan Santoso (2019) menunjukkan bahwa perubahan kebijakan hukum sering kali tidak terjadi karena inisiatif pemerintah, melainkan karena tekanan dari masyarakat sipil.

Secara keseluruhan, puisi ini memiliki relevansi yang kuat dengan situasi hukum dan politik kontemporer. Kritik yang disampaikan melalui simbolisme dan metafora memperlihatkan bagaimana hukum sering kali berpihak kepada penguasa daripada rakyat, suatu realitas yang telah dikaji dalam banyak penelitian hukum modern.

 

Daftar Pustaka

 

Arifin, M. (2020). Ketidakpastian Hukum dalam Demokrasi: Analisis Sosio-Hukum. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 8(1), 45-59.

Ehrlich, E. (1936). Fundamental Principles of the Sociology of Law. Harvard University Press.

Hadad, R. (2018). Good Governance dan Tantangan Implementasi dalam Negara Berkembang. Jurnal Ilmu Sosial, 12(1), 101-120.

Hermandra. (2022). Analisis Semantik Gurindam Dua Belas Pasal I Karya Raja Ali Haji. Jurnal Innovative, 4(2). https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/view/10004

Kennedy, D. (1978). Legal Education and the Reproduction of Hierarchy. Harvard Law Review, 32(4), 345-367.

Lestari, R. (2021). Kebebasan Berpendapat dan Demokrasi: Tantangan Regulasi di Era Digital. Jurnal Komunikasi Publik, 10(2), 102-118.

Mahfud MD. (2019). Demokrasi, Hukum, dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia.

Prasetyo, T. (2019). Semangat Perjuangan dalam Puisi Chairil Anwar dan Relevansinya terhadap Demokrasi Indonesia. Jurnal Sastra dan Budaya, 7(2), 112-124.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.

Supriyadi, R., & Hidayat, A. (2021). Kebebasan Ekspresi dan Perlawanan terhadap Ketidakadilan dalam Sastra Indonesia. Jurnal Kajian Hukum dan HAM, 5(1), 78-92.

Suryadi, T. (2022). Monopoli Informasi dan Dampaknya terhadap Demokrasi. Jurnal Politik dan Hukum, 12(1), 78-94.

Susilowati, D., & Qur'ani, H. B. (2021). Analisis Puisi "Tanah Air" Karya Muhammad Yamin dengan Pendekatan Struktural. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 5(1), 38-48.

Tirto.id. (2022). Isi Gurindam Dua Belas Karya Raja Ali Haji dan Artinya Lengkap. https://tirto.id/isi-gurindam-dua-belas-karya-raja-ali-haji-dan-artinya-lengkap-gyhR

Tröhler, D. (2020). National Literacies, or Modern Education and The Art of Fabricati ng National Minds. Journal of Curriculum Studies, 52(5), 620-635.

Wahyudi, B. (2018). Chilling Effect dan Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hukum. Jurnal Hak Asasi Manusia, 6(2), 120-133.

Wijaya, B., & Santoso, P. (2019). Dinamika Perubahan Hukum di Indonesia: Perspektif Sosiologi Hukum. Jurnal Hukum dan Kebijakan Publik, 6(3), 231-256.

Yanuar, D. (2019). Sastra dan Kritik Sosial: Analisis Puisi W.S. Rendra. Jurnal Sastra dan Hukum, 7(3), 89-105. Aji, R., & Syarif, A. (2020). Kritik Sosial dan Kebebasan Berpendapat dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Hukum dan Masyarakat, 8(2), 55-78.

Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono

  "Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono" Penulis Ledy Novwanty Nainggola...