? "width=device-width,initial-scale=1.0,minimum-scale=1.0,maximum-scale=1.0" : "width=1100"' name='viewport'/> Dari Kelas ke Panggung Sastra: Kekerasan dan Keadilan: Analisis Strukturalisme dalam Cerpen Tukang Pundak Karya M. Raudah Jambak

Kamis, 12 Juni 2025

Kekerasan dan Keadilan: Analisis Strukturalisme dalam Cerpen Tukang Pundak Karya M. Raudah Jambak

Kekerasan dan Keadilan: Analisis Strukturalisme dalam
Cerpen Tukang Pundak Karya M. Raudah Jambak

Tabita Tesalonika Simaremare, Febi Vita Sani Sinaga, Yuni Tamba

                                                                                                            Tukang Pundak

    Cerpen Tukang Pundak karya M. Raudah Jambak mengisahkan tentang kekerasan politik pasca-kekalahan "Golongan Merah Kiri." Setiap kali listrik padam, masyarakat tahu bahwa akan ada eksekusi terhadap orang-orang yang diduga simpatisan kelompok tersebut. Pak Morta, seorang saksi sejarah, mengingat tragedi yang menimpa ayahnya, Haji Odah, yang dijebak dan dieksekusi oleh kelompok Aksinger, meskipun seorang mantan muridnya, Nema, berusaha menyelamatkannya. Sosok tukang eksekusi, Sodis, justru naik menjadi Bupati, meski memiliki masa lalu kelam. Cerita berujung pada keadilan yang akhirnya ditegakkan. Sodis mengalami nasib serupa dengan korban-korbannya, dengan kepalanya terpisah dari badan. Kematian Sodis menjadi simbol akhir dari siklus kekerasan yang telah berlangsung lama.

    Cerpen Tukang Pundak karya M. Raudah Jambak berlatar pada periode pasca-kekalahan "Golongan Merah Kiri" di Indonesia, sebuah masa penuh ketegangan politik dan kekerasan terhadap mereka yang dianggap sebagai simpatisan kelompok tersebut. Cerita ini mencerminkan situasi sosial-politik di mana dendam dan ketidakadilan merajalela, dengan kelompok pemenang menggunakan kekuasaan untuk menyingkirkan lawan-lawannya secara brutal. Kampung-kampung menjadi saksi bisu atas eksekusi yang terjadi secara sistematis, menciptakan atmosfer ketakutan yang terus-menerus menghantui penduduknya. Di tengah kondisi tersebut, muncul tokoh-tokoh seperti Nema dan Sodis yang masing-masing memiliki peran berbeda dalam lingkaran kekerasan itu. Nema, yang awalnya ingin menyelamatkan gurunya, Haji Odah, justru terjebak dalam sistem yang tidak memberikan ruang untuk belas kasihan. Sementara itu, Sodis, mantan algojo atau “tukang pundak,” justru berhasil naik ke tampuk kekuasaan sebagai Bupati, menunjukkan betapa kekerasan bisa dijustifikasi dalam politik. Namun, pada akhirnya, cerpen ini menunjukkan bahwa keadilan tetap akan ditegakkan, sebagaimana Sodis akhirnya mengalami nasib serupa dengan korban-korbannya. Dengan latar yang kelam dan penuh ketegangan, cerpen ini memberikan kritik terhadap siklus kekerasan dan ketidakadilan yang terus berulang dalam sejarah politik Indonesia.

    Dalam Cerpen Tukang Pundak karya M. Raudah Jambak terdapat kekerasan sebagai elemen utama dalam narasi. Kekerasan itu tidak hanya bersifat fisik tetapi bersifat psikologis dan structural dan dapat berdampak besar pada masyarakat. Cerpen tersebut dapat dijadikan sebagai lensa untuk mengeksplorasi dinamika ini, menyajikan gambaran yang jelas tentang bagaimana individu dan masyarakat bereaksi terhadap situasi yang penuh kekerasan. Di dalam cerpen tersebut terdapat kekerasan fisik yang tergambar jelas melalui eksekusi-eksekusi brutal yang dilakukan oleh kelompok Aksinger terhadap orang-orang yang diduga simpatisan ‘Golongan Merah Kiri’. “Setiap kali listrik padam, masyarakat dicekam ketakutan karena tahu akan ada darah yang tumpah”. Tragedi yang menimpa Haji Odah, ayah dari Pak Morta, menjadi contoh nyata bagaimana kekerasan digunakan sebagai alat politik untuk menghilangkan lawan-lawan ideologis. Kekerasan yang bersifat psikologis dalam cerita ini terlihat dari dampak yang ditimbulkan pada masyarakat. Atmosfer kampung yang selalu dipenuhi rasa was-was menciptakan trauma kolektif. Seperti karakter Pak Morta yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam, menunjukkan bagaimana kekerasan masa lalu masih menghantui kehidupan masa kini. Dan kekerasan struktural juga terwujud melalui bagaimana kekuasaan politik dipakai untuk melegitimasi tindakan kekerasan, seperti yang dilakukan oleh Sodis yang kemudian menjadi Bupati.

    Meskipun cerpen ini dipenuhi dengan kekerasan, pada akhirnya ada harapan mengenai tegaknya keadilan. Kematian Sodis dengan cara yang sama seperti korban-korbannya menjadi simbol bahwa keadilan akan selalu menemukan jalannya. Meskipun terlambat, karma tetap berlaku, dan siklus kekerasan akhirnya terhenti. Dalam konteks keadilan, cerita ini juga menggambarkan bahwa keadilan tidak selalu datang melalui jalur hukum formal. Dalam masyarakat yang dikuasai oleh kekuasaan tiran dan hukum yang direkayasa, keadilan sering kali muncul dalam bentuk yang lebih alamiah, melalui karma atau pembalasan setimpal. Ini memperlihatkan bahwa di balik semua kekerasan dan ketidakadilan, masih ada keseimbangan yang akan dicapai pada akhirnya.

    Narasi cerpen ini juga mencerminkan situasi historis yang mirip dengan peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966, di mana ratusan ribu hingga jutaan orang yang diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi korban kekerasan. Melalui cerpen ini, penulis mengkritik siklus kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi serta menunjukkan keadilan, meskipun tertunda, akan tetap hadir. Cerpen Tukang Pundak memperlihatkan bagaimana kekerasan politik digunakan untuk menekan simpatisan "Golongan Merah Kiri", serupa dengan operasi militer dan pembantaian yang terjadi pada 1965-1966. Dalam sejarah Indonesia, pembantaian massal tersebut dilakukan oleh militer dan kelompok sipil terhadap orang-orang yang dianggap komunis atau simpatisannya (Cribb, 2001). Sama halnya dalam cerpen, kelompok Aksinger melakukan eksekusi sistematis terhadap masyarakat yang diduga simpatisan, menciptakan atmosfer ketakutan. Karakter Haji Odah yang dijebak dan dieksekusi mencerminkan kisah nyata ribuan korban yang dieksekusi tanpa proses hukum selama tragedi 1965-1966 (Roosa, 2006). Bahkan, tokoh Sodis yang naik menjadi Bupati meski memiliki masa lalu sebagai algojo menunjukkan bagaimana impunitas masih terjadi dalam masyarakat Indonesia, di mana banyak pelaku kekerasan masa lalu tidak diadili.

     Cerpen ini memberikan harapan akan tegaknya keadilan dengan nasib Sodis yang berakhir tragis, sebagai simbol bahwa karma dan keadilan alamiah tetap berlaku. Namun, dalam konteks sejarah Indonesia, keadilan formal terhadap pelaku pembantaian 1965-1966 masih jauh dari harapan. Lembaga seperti Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih menemui banyak hambatan politik dan sosial dalam menjalankan tugasnya (Crouch, 2010).

    Cerpen Tukang Pundak tidak hanya sekadar fiksi, tetapi juga sebuah refleksi kritis terhadap siklus kekerasan politik di Indonesia. Melalui kisahnya, penulis menyuarakan pentingnya keadilan dan penghentian siklus kekerasan yang terus berulang. Dalam konteks sejarah pembantaian massal 1965-1966, cerita ini menjadi pengingat bahwa tanpa adanya keadilan, trauma masyarakat tidak akan pernah benar-benar sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

Cribb, R. (2001). The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali. Monash

University Press.

Roosa, J. (2006). Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's

Coup d'Etat in Indonesia. University of Wisconsin Press.

Crouch, H. (2010). The Army and Politics in Indonesia. Equino

1 komentar:

Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono

  "Keputusan Menjadi Pencuri: Analisis Sosial atas Konflik Moral dalam Cerpen Indra Tranggono" Penulis Ledy Novwanty Nainggola...